Bismillahhirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaah….
Pagi ini membuka mata di tempat dimana aku dibesarkan setelah berhasil melewati
proses pulang kampung semalam yang penuh drama karena mendadak diare sejak pagi
yang diduga efek masuk angin. Mohon maaf sebelumnya, bukan maksud tak
mengindahkan anjuran pemerintah untuk tak pulang kampung demi memutus rantai
penyebaran Covid-19, tapi karena satu dan lain hal yang mengharuskan aku meninggalkan
tempat rantau untuk sementara dan merayakan idul fitri di rumah, kebetulan
daerah rantau juga daerah rumah tidak termasuk zona merah apalagi zona hitam.
Sejak
tiba di rumah kurang lebih pukul satu dini hari, perasaanku agak aneh nggak
tahu kenapa, terlepas dari kondisi perut yang memang masih tak bisa diajak
kompromi. Irama jantungku sering nggak beraturan, terutama kalau nggak sengaja
lagi bengong. Namun, aku bersyukur meski dengan perasaan yang nggak jelas, aku
masih bisa merayakan hari raya Idul Fitri 1441 hijriah bersama keluarga di
rumah.
Senin,
25 Mei 2020. Esok hari setelah lebaran, irama jantungku mulai sedikit tenang,
tapi perasaan masih tak karuan, kadang disertai mules padahal yang kutahu
diareku sudah sembuh dua hari yang lalu. Tepat pukul 08.00 WIB, di Senin pagi
yang cuacanya tak begitu cerah (awannya kelabu sebagian), seorang teman dekat
bersama keluarganya mengunjungi rumahku dengan maksud dan tujuan tertentu.
Sebuah kenyataan yang harus kuhadapi bahwa aku akan di khitbah hari itu. Hal
ini mungkin yang membuat perasaan menjadi tak menentu beberapa hari ke
belakang. Aku masih nggak nyangka akan ada hari itu. Bahagia, nggak percaya,
takut, dan rasa-rasa yang lain berhimpun menjadi satu membuatku tak bisa
berekspresi hari itu.
Sembilan
tahun lamanya (niat banget ya dihitung) aku menjalani kesendirian atau biasa
orang menyebutnya dengan jomlo karena tak punya pacar, lebih tepatnya sih belum
punya pasangan halal karena menurutku gelar jomlo itu memang pantasnya
diberikan untuk mereka yang belum punya pasangan halal, sedangkan mereka yang
punya pacar adalah jomlo yang disamarkan dengan menjalin hubungan yang belum
jelas kepastiannya. Mohon maaf ini hanya sudut pandang seorang jomlo.
Menjadi
jomlo atau nggak pacaran adalah keputusan yang kubuat saat kuliah dengan alasan
tak ingin lagi pendidikanku terganggu karena sakit hati, galau, patah hati yang
disebabkan oleh pacaran hingga lama-lama aku mulai merasa nyaman dengan
kesendirian yang kujalani, dan kebetulan dari dulu hingga kini aku belum paham
dengan konsep pacaran pemuda-pemudi seperti yang pernah kuceritakan di diary Nggak Boleh Pacaran !!!, ditambah lagi orang tua pun begitu melarang keras yang namanya
pacaran waktu itu..
Bagiku jomlo itu bebas, tak terikat dengan dia yang statusnya masih samar-samar, tak perlu rutin melapor kepada dia yang juga statusnya belum jelas. Namun, jomlo itu tak bebas dari komentar orang lain yang terkadang sedikit mengganggu. Aku pun tak jarang mendapat pertanyaan “Kok nggak punya pacar?”, “nggak laku ya?” hmmm… iya nggak laku karena aku nggak dijual, gimana bisa laku, “nggak ada yang mau ya?” iya biarin, pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sudah bersahabat dengan kupingku hingga tak tembus ke hati. Namun, pernah ada kalimat yang kudengar pertama kali dan cukup mengganggu yaitu “Lu suka cewek”, entah kenapa hati aku nggak terima mendengar itu walaupun mungkin konteksnya candaan, tapi ya sudahlah karena ini salah satu risiko menjadi seorang jomlo seperti aku.
Kembali
lagi ke momen 25 Mei 2020, sebuah acara yang teramat sederhana, namun sarat
akan makna. Acara yang banyak dinantikan oleh mereka yang menantikannya
termasuk aku. Khitbah merupakan salah
satu tahapan sebelum proses akad berupa ungkapan permintaan seorang pria kepada
wali seorang perempuan untuk menikah. Aku sering mendengar cerita dari beberapa
teman yang hendak menikah bahwa mereka juga sempat dihantui keraguan,
ketakutan, dan dilema menjelang pernikahan. Lantas wajar nggak sih kalau aku
dihantui perasaan semacam itu padahal masih tahap khitbah, mungkin aku hanya
sedikit lebay efek terlalu lama menjomlo, hehehe. Temen-temen ada yang pernah
merasakan hal yang sama nggak?.
Sebelum
hari itu, aku nyaris mengulur waktu karena aku terlalu terbawa perasaan takut
yang tiba-tiba muncul begitu saja. Ada keraguan yang juga hinggap dalam benak,
keraguan akan diri sendiri atas kesiapan dalam menghadapi proses setelah
khitbah yaitu pernikahan. Perihal jodoh/ calonnya, insyaalloh aku yakin pilihan Alloh Swt. adalah yang terbaik.
Aku
akan menikah? Pertanyaan yang tak jarang kutanyakan pada diri sendiri. Dari
segi usia yang sudah melewati seperempat abad, memang sudah matang untuk
menikah. Namun, sesekali aku meragukan kedewasaan diri terutama tentang
kesiapan dalam menjalani kehidupan setelah menikah. Meskipun hampir sebelas
tahun lamanya aku tinggal jauh dari orang tua, tampak seperti mandiri, seolah
mampu menyelesaikan masalah sendiri, tapi di samping itu aku masih sering
merepotkan orang tua dalam banyak hal hingga kusangsikan kemandirianku.
Bagiku
menikah itu sebuah tantangan dimana aku harus hidup berdampingan bersama orang
baru yang sudah pasti memiliki latar belakang serta karakter yang berbeda.
Hidup dengan orang baru untuk kurun waktu yang tak sebentar membutuhkan
persiapan yang cukup matang dari segi materi maupun mental yang pernah kutulis
di diary So, Kapan Sebaiknya Kamu Menikah?. Saling menyayangi, mencintai, menghargai, memahami, menyemangati,
serta menerima kekurangan masing-masing merupakan hal penting yang harus selalu
dihadirkan dalam menjalani kehidupan pernikahan agar tercipta keluarga yang
sakinah, mawadah, warrahmah. Dan lagi sangsi akan diri sendiri, mampukah aku
menjalaninya? Bisakah aku menjadi seorang istri yang baik dan taat pada suami? mampukah
aku mendidik putra-putri yang soleh dan soleha?.
Menikah
itu fase dimana seseorang diuji oleh Alloh Swt. dengan diberikannya amanah
berupa pasangan, keturunan, keluarga baru yang semuanya harus dijaga sebaik
mungkin karena kelak akan dimintai pertanggung jawaban, serta tak lupa pula
akan ada hal-hal baru seperti masalah-masalah sebagai bumbu-bumbu tambahan
dalam kehidupan pernikahan yang tiada lain merupakan bentuk ujian yang harus
siap dihadapi. So, menikah itu bukan
hanya sekedar pesta meriah, menikah itu bukan hanya karena baper melihat
teman-teman lain sudah menikah, menikah juga bukan karena diburu usia atau
dipaksa orang tua, atau mungkin karena digunjing tetangga sering kepergok
pacaran berdua-duaan (hehehe). Memang betul, niat yang benar dari menikah itu
adalah untuk ibadah, menyempurnakan separuh agama. Mungkin hal tersebut bisa
dijadikan sebagai bahan renungan untuk kita supaya memperbaiki niat kita saat
memutuskan untuk menikah. Lantas bagaimana dengan keraguan dan kekhawatiran
yang masih berlalu-lalang dengan tanpa dosanya.
Keraguan
dan kekhawatiran yang terjadi memicu timbulnya ketidaksiapan dalam diri karena
hati diliputi rasa takut menghadapi kenyataan-kenyataan yang mungkin akan
terjadi. Lalu kapan seseorang dikatakan siap untuk menikah? Entahlah, kurasa
hanya Alloh Swt. yang berhak menentukan seseorang sudah siap untuk menikah
dengan mempertemukan dua orang hamba laki-laki dan perempuan yang kemudian
Alloh Swt. permudah jalan mereka untuk bersama. Jika Alloh Swt. sudah
menghendaki, tugas seorang hamba hanyalah cukup mengikuti skenarioNya tanpa
merasa ragu dan takut seperti yang terdapat dalam firmanNya, QS. Al-baqarah
ayat 286 :
“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat
tersebut merupakan salah satu bukti bahwa Alloh Swt. ingin hambaNya yakin dan
mengikuti skenarioNya. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah atas
kehendakNya. Pasangan, keturunan, serta rezeki lainnya akan Alloh Swt. berikan
kepada hambaNya yang siap menerimanya. Pun denganku yang berusaha menepis
keraguan dalam hati dengan keyakinan bahwa semua yang terjadi padaku saat ini
termasuk momen bertemunya dua keluarga yang berbeda pada 25 Mei 2020 merupakan
salah satu dari skenarioNya yang berarti aku bisa menjalani semuanya, insyaalloh.
Tugas
seorang hamba hanyalah tetap berhusnudzan pada Alloh Swt., lalu berusahalah
mengabaikan komentar-komentar orang lain yang bisa mengganggu hati, juga untuk
para komentator diimbau untuk tidak melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
berpotensi menyinggung, seperti “kapan mau nikah?” atau “udah hamil belum?”
karena kita nggak tahu seberapa besar efek dari pertanyaan itu walaupun mungkin
pertanyaan tersebut bisa juga dijadikan sebagai motivasi, kembali kepada
pribadi masing-masing orang. Sorry bukan
maksud menggurui, tapi hanya untuk menghibur diri yang juga tak jarang
dikomentari oleh para komentator-komentator di luar sana.
Waduh,
sepertinya udah banyak nih curhatnya. Oh iya, temen-temen ada yang merasakan
hal yang sama denganku nggak? Kalau ada, boleh sharing. Kita curhat berjamaah atau mungkin ada yang tidak
sependapat denganku, silakan sharing juga,
atau temen-temen punya tips-tips untuk menghilangkan keraguan tentunya sangat
boleh di share. Sekali lagi diary ini bukan untuk menggurui ya friends. Semoga bermanfaat. Oh iya,
siapapun yang memiliki hajat dalam bentuk apapun, semoga Alloh Swt. beri
kemudahan dalam setiap prosesnya. Aamiin.
Akhirulkalam…
Komentar
Posting Komentar