Assalamu’alaikum…
Dear diary. Kali ini aku hanya ingin berbagi cerita tentang pengalaman melahirkan anak pertama di rumah sakit dengan harapan ada manfaat yang bisa diambil dari pengalaman pertamaku ini.
Kenapa Rumah Sakit?
Sebelum memilih rumah sakit, aku mengunjungi bidan terlebih dahulu untuk memastikan di dalam rahimku ada calon bayi setelah kuyakin dengan benar test pack yang kupakai bergaris dua, tapi di sana aku tidak mendapatkan apa-apa selain hasil tensi darah bahkan bu bidan tak menyentuh perutku sama sekali karena alasan usia kandunganku terbilang masih sangat muda, “belum kepegang” begitu katanya. Dia juga bilang bisa saja aku menstruasi lagi dan menyarankan untuk berkunjung lagi bulan depan.
Kondisiku makin hari makin nggak karuan. Aku mulai merasakan pusing, mual, muntah hingga badan terasa lemas. Tak tahan rasanya jika harus menunggu hingga bulan depan. Kuputuskan untuk periksa ke dokter saja sekalian USG dan siapa tahu dikasih vitamin atau obat pereda rasa mual. Sebenarnya ada beberapa rumah sakit yang menjadi rekomendasi suamiku, tapi aku pilih RS. UMMI yang beralamat di Jl. Empang II no. 2 Empang Kecamatan Bogor Selatan Kota Bogor karena sebelumnya aku pernah operasi usus buntu di sana dengan pelayanannya yang cukup baik menurutku, ditambah lagi dengan lantunan murotal disetiap detiknya menciptakan kenyamanan bagi para pasien.
Baca juga : Pengalaman Pertama dan Terakhir Operasi Usus Buntu
Saat itu aku nggak punya rekomendasi dokter kandungan di sana. Jadi, aku pilih dokter yang praktek pagi itu yaitu Dokter Nadya Lusiana yang menjadi providerku. Sebetulnya aku berencana untuk persalinan di bidan, tetapi dengan seringnya chekup di rumah sakit aku merasa tertarik dan lebih nyaman untuk lahiran di sana ditambah suami juga mendukung, “biar nggak dobel provider, biar bisa pakai asuransi dari perusahaan, sayang kalau nggak dipake” begitu katanya, hehehe.
Kepergian Mama
Sejak aku tahu bahwa di dalam rahimku ada calon bayi, aku jadi lebih perhatian dengan pola hidupku mulai dari pola makan hingga olahraga yang sebelumnya bodo amat. Sama seperti calon ibu lainnya yang menginginkan janin sehat dan selamat. Setiap arahan dokter selalu kuikuti sehingga hasil USG pun selalu menunjukan perkembangan yang baik. Di minggu-minggu akhir menjelang persalinan posisi janinku sudah optimal, siap masuk ke panggul dan bisa lahiran normal.
Namun, kepergian Mama untuk selamanya cukup menyita psikis dan fisikku. Setiap harinya kulalui dengan kesedihan, tangisan, dan rebahan, tak ada hasrat untuk melakukan kegiatan apapun. Aku benar-benar stres sampai akhirnya berpengaruh pada posisi janinku. Dokter sempat mendiagnosa bahwa kemungkinan aku akan lahiran caesar karena jika dipaksakan normal bisa berakibat buruk kepada bayi. Tanggal 19 September 2021 adalah jadwal terakhir aku chekup. Jika tak ada perubahan pada posisi janin maka akan dijadwalkan operasi caesar untuk proses persalinanku nanti. Aku mulai pasrah.
Baca juga : Mama : Bukankah jodoh, rezeki, dan mau telah Alloh Swt. tetapkan?
Terima kasih untuk bayiku
Hatiku memang pasrah berusaha siap menerima apapun yang akan terjadi pada proses persalinanku nanti, tapi bukan berarti aku hanya diam, menunggu tanpa berupaya karena sejujurnya hati kecilku menginginkan persalinan normal. Mengesampingkan ego adalah hal pertama yang kulakukan. Aku nggak boleh stres, di perutku ada bayi yang selama sembilan bulan aku harapkan kelahirannya. Aku pun mulai berupaya lagi sambil terus memberi afirmasi positif pada janinku.
Kamis, 16 September 2021 pukul satu dini hari aku merasakan perutku melilit seperti ingin BAB, tapi bukan. Mungkin ini kontraksi pikirku. Aku mulai mengumpulkan informasi tentang seperti apa itu kontraksi mulai dari internet sampai ke mereka yang berpengalaman dan semuanya mengatakan bahwa yang aku rasakan itu adalah kontraksi bahkan ada yang menyarankanku untuk segera ke rumah sakit.
Aku mencoba download aplikasi contraction timer untuk menghitung intervalnya karena rasa melilit di perutku tidak mereda, semakin sering bahkan dua kali mengeluarkan flek. Aku nggak panik karena sebelumnya aku sering membaca pengalaman orang lain saat melahirkan, tapi yang aku takutkan adalah cairan yang keluar bersama flek itu berasal dari ketuban ditambah aku nggak punya kertas lakmus untuk mendeteksinya.
Sekitar pukul 14.00 WIB kuputuskan untuk periksa ke rumah sakit ditemani suami karena interval kontraksinya sudah tiga menit sekali, siapa tahu sudah bukaan empat gitu kan, hehehe. Eh ternyata baru mau pembukaan satu, baru mau loh, tapi aku bersyukur karena cairan yang keluar bersama flek bukan air ketuban. Ketubanku masih aman.
Kupikir aku akan disuruh pulang karena masih bukaan satu dan belum sempurna, tapi tanganku dipasang jarum infus, darahku diambil untuk cek lab, hidungku di swab antigen (masih musim covid-19), dan paru-paruku di rontgen. Sementara suamiku mengurus administrasi, aku diantar oleh seorang bidan ke ruang observasi untuk melihat perkembangan kontraksi mulai dari cek detak jantung bayi hingga periksa dalam yang dari sore hingga malam masih stay di pembukaan satu.
Beragam bidan menyarankanku untuk melakukan induksi agar kontraksi semakin intens, jalan lahir segera terbuka dengan cepat, dan tentunya tak harus berlama-lama di rumah sakit karena proses pembukaan anak pertama akan lama, begitu katanya. Sumpah saat itu aku kesel banget sama mereka yang nggak sabaran padahal yang mau lahiran kan aku.
Aku terus menolak tawaran induksi bukan karena egois dan keras kepala. Pertama, aku masih merasakan kontraksi yang semakin lama rasanya semakin aduhai dan aku nggak bisa membayangkan akan seperti apa perutku jika ditambah induksi buatan. Kedua, kondisi jantung bayiku masih bagus, normal. Ketiga, ketubanku juga masih cukup aman untuk bayiku, nggak ada masalah. Dan keempat, ini anak pertama yang katanya memerlukan proses agak lama. Jadi, buat apa induksi? Biarkan semuanya berjalan apa adanya selama tidak membahayakan bayiku. Ditengah kontraksi yang semakin intens, aku terus berupaya dengan diiringi lantunan murotal aku berjalan, jongkok, afirmasi positif sampai aku betul-betul tak mampu berdiri lagi, hehehe.
Ternyata benar ya, anak itu pembawa rezeki. Alhamdulillah rezeki bayiku bagus karena saat itu RS. UMMI sedang ada promo sehingga bisa upgrade dari kelas satu ke VIP. Aku sangat bersyukur karena dengan berada di ruang VIP aku tidak mengganggu kenyamanan calon ibu-ibu yang lain dengan kegaduhan yang mungkin tanpa sengaja kuperbuat, hehehe.
Jumát, 17 September 2021 Aku lupa persisnya, kalau nggak salah jalan lahirku masuk pembukaan dua ketika subuh yang mana rasanya lebih nikmat dari sebelumnya, aku masih bisa berjalan ke kamar mandi untuk sekadar buang air kecil. Semakin siang kontraksi semakin bertambah intervalnya sampai aku tak lagi menggunakan aplikasi timer-nya mungkin sudah 15 detik sekali diiringi dengan pembukaan yang terus bertambah lebih cepat.
Jam sepuluh pagi aku masih stay di pembukaan empat dengan kondisi yang semakin tak karuan. Nasi goreng yang baru kumakan tiga sendok seolah memohon memintaku untuk memakannya agar aku bertenaga, tapi apalah daya minat makanku saat itu mulai berkurang. Di pembukaan lima aku betul-betul merasa nggak kuat karena harus menahan rasa ingin mengejan, aku betul-betul cengeng. Alhamdulillah suamiku tak henti memberikan support di saat aku ingin menyerah. Aku ingin operasi caesar saja, tapi mungkin aku akan merasakan kenikmatan yang berlipat-lipat. Untunglah otakku masih bekerja. Perasaanku seperti gado-gado, campur aduk apalagi saat dokter visit memeriksa kondisiku yang sudah masuk pembukaan enam dan ia memprediksi kemungkinan bayiku lahir sekitar pukul tiga atau empat, dan jika belum nambah pembukaan maka terpaksa akan dilakukan induksi buatan karena ditakutkan bayinya stres.
Ya Allah… betapa nikmatnya jika akhirnya harus induksi. Aku hanya bisa pasrah, berserah diri, yang kupikirkan saat itu hanyalah bayiku lahir sehat dan selamat. Ingat, aku tak berjuang sendiri, aku berjuang bersama bayiku yang juga berusaha melewati jalan sempit yang mungkin saja membuatnya tak nyaman. Pembukaan sembilan ketubanku dipecahkan paksa untuk memudahkan bayiku keluar.
Bidan dan perawat berlalu-lalang keluar masuk ruanganku mempersiapkan perlengkapan persalinan. Pembukaan sepuluh waktunya aku melahirkan, tapi dokter belum memperbolehkan mengejan karena kepala bayiku masih di atas. Kondisiku makin nggak karuan. Rasanya seperti menahan ingin BAB, wkwkwk.
Pukul 14.03 WIB. Alhamdulillaah wa syukurillaah.. ini adalah momen perjuangan yang sesungguhnya bagiku, dimana aku dan bayiku harus bekerja sama dengan baik. Aku mengejan, bayiku mendorong. Terima kasih untuk bayiku, kamu hebat. Rasa sakitku hilang seketika melihat manusia mungil yang kupanggil si lucu menempel di dadaku. Aku masih tak menyangka, aku yang dari dulu selalu takut melahirkan ternyata bisa melewati ini semua.
Terima kasih untuk bidan yang aku nggak tahu siapa namanya dan bagaimana wajahnya karena setengah wajahnya tertutup masker yang aku tahu dia dengan sabar membantuku mengolah napas dengan benar sehingga aku mampu mengendalikan kenikmatan saat kontraksi. Ternyata benar dears kunci utama saat persalinan adalah berdoá dan atur napas dengan benar. Bagiku bukan sembarang napas, semuanya perlu dilatih. Makanya kenapa ada senam hamil.
Terima kasih juga untuk dokter Nadya Lusiana yang sudah menjadi providerku. Meskipun beliau orangnya saklek, singkat, padat, dan jelas, tapi beliau sabar masih mengikuti keinginanku untuk tidak melakukan induksi buatan. And then, terima kasih banyak untuk suamiku yang selalu ada di sampingku, selalu mendampingiku dalam segala kondisi termasuk ketika aku hamil, menemani chekup, sampai persalinan. Ini salah satu sisi positif dari pandemi yang sampai saat ini belum mereda. Suamiku WFH (Work From Home) sehingga selalu menemaniku meski tengah sibuk dengan pekerjaannya. Untukmu bayiku, dan untukmu suamiku kalian berdua laki-laki hebat.
Akhirulkalam
Doa dan mengatur napas saat persalinan.. ini kubaca juga di buku Bebas Takut Hamil dan Melahirkan (Yesie Aprillia), yg memperkenalkan konsep gentle birth
BalasHapusAlhamdulillah lancar ya Mbak.. semoga ananda jadi anak shalih
Selamat ya, Kak. Smg debay jd keturunan yg baik dan bermanfaat.
BalasHapusSubhanallah sekali ikhtiarnya... ^^
Waah baca ceritanya jadi ikut keingetan pas moment lahiran juga. Tapi mba lebih kuat karena bisa melewati masa2 berat kehilangan ibu disaat lagi hamil.
BalasHapusBarakallah untuk debaynya ya new mom, sehat2 selalu
alhamdulillah. selamat ya, mbak. luar biasa pengalamannya. aku belum kebayang sama sekali, hahaha. semoga hari-hari setelah lahiran juga tetap penuh support dan menyenangkan ya. sehat selalu ibu dan debay-nya
BalasHapusAlhamdulillah... Selamat ya mbak atas lahirannya...Aku juga lahiran anak pertama di RS UMMI mba...Sehat selalu ya mba...
BalasHapusBaca prosesnya berasa ikut merasakan, Mbak. Aku belum pernah melahir dan kemungkinan sudah tidak mungkin karena usia tapi aku dulu pernah keguguran Rasanya stres dan takut banget waktu dikuret hingga akhirnya dibius total.
BalasHapusAlhamdulillah sehat mama dan Dede bayinya, Ya... Selamat semoga kelat jadi anak yang Sholeh.
Maasyaa Allah tabaarakallaah, selamat ya Mbak Isla udah jadi ibu hebat. Udah keren menempuh sembilan bulan yang penuh tantangan dan melahirkan dengan semangat. Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan debat anak Sholih dan keluarganya samawa.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMasya Allah, mba kuat banget ya, bisa melewati semuanya dengan hebat. Alhamdulillah sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Semoga sehat dan bahagia selalu ya mba
BalasHapusTurut berdukacita atas wafatnya Ibunda ya say, semoga diberikan tempat terbaik di sisi Allah aamiin. Aku juga diinduksi Alhamdulillah bisa lahir normal walaupun masuk NICU anakku karena tersedak ketuban, anak-anak juga lahir di Bogor..
BalasHapusmaaf bunda mau tanya , lahirannya di cover asuransi kantor kan ya ? kalau saat kontrol setiap bulan ke dokter kandungannya pake asuransi juga atau tidak bun ? boleh rinci biaya nya ? kalau misalkan pakai asuransi , itu harus ada rujukan dari faskes pertama atau gimana bun ?
BalasHapusBetul bun, aku pakai asuransi kantor.
HapusUntuk kontrol tiap bulan aku juga pakai asuransi, tapi berhubung limitnya sudah habis, sisanya pakai umum bund. Untuk biaya kontrol tergantung by. Jasa dokter, usg, kalau ada tambahan vitamin atau obat mual juga.
Aku waktu itu tanpa rujukan bund, asal RS.nya rekanan dengan pihak asuransinya.