Bismillahirrahmaanirrahiim
Bicara
soal pacaran memang tak akan ada habisnya. Pacaran selalu menjadi topik yang
tak pernah bosan untuk dibahas. Pacaran juga merupakan sebuah keharusan bagi
mereka yang menjalankan, baik tua ataupun muda termasuk aku. Aku yang saat ini
menentang pacaran ternyata pernah pacaran juga. Seperti perempuan pada umumnya,
aku pun merasakan apa yang namanya jatuh cinta, patah hati, cemburu,
diselingkuhi, dilema, dan konflik bathin lainnya yang sering dirasakan oleh
para budak cinta.
Semuanya
berawal ketika aku duduk di kelas 3 SMP. Seingatku waktu itu masih awal ajaran
baru. Tak ada angin, tak ada hujan, salah satu teman sekelasku, cowok datang
kepadaku menyatakan perasaannya. Kaget. Seorang cowok yang tak pernah memiliki
hubungan baik denganku sebelumnya, tak pernah dekat, tak pernah akrab apalagi
sampai curhat bareng, yang ada hanyalah perseteruan di antara kami. Bisa
dibilang dia adalah salah satu musuh bebuyutanku, si biang huru-hara, si pemicu
keributan, sering aku bertengkar dengannya.
Aku
dan dia memang sudah lama saling mengenal. Kami bersekolah di tempat yang sama
dari sejak SD hingga SMP. Selama ini dia sering membuatku marah, banyak
kelakuannya yang menyebalkan. So mana
bisa aku percaya ketika dia menelpon malam-malam, mengajakku ngobrol asyik di
telpon sampai akhirnya memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku tak tahu apa yang
sedang direncanakannya malam itu. Aku hanya dibisiki oleh hati untuk tidak
mudah percaya kepada orang lain, apalagi dia.
Sekali,
dua kali dia menyatakan perasaannya, tapi tak pernah ku gubris. Hingga yang ke
tiga kalinya aku mulai berpikir dan menimbang-nimbang permintaan dia yang ingin
menjadikanku sebagai pacarnya, ditambah lagi dengan mayoritas teman-teman dan
sahabatku yang hampir semua sudah memiliki pacar. Setiap kami kumpul selalu
membahas tentang kisah asmara masing-masing, kecuali aku yang memang masih
sendiri.
Terlahir
dari keluarga yang sangat peduli dengan pendidikan dan menentang keras pacaran
merupakan suatu beban bagiku. Awalnya. Aku merasa hari-hariku hanya dihiasi
dengan belajar, belajar, dan belajar demi mendapatkan nilai tertinggi serta
memertahankan julukan si nomor satu. Cukup membebani pikiranku. Sempat ku
berdo’a pada Alloh Swt. agar aku menjadi orang biasa saja, tak perlu menjadi
nomor satu. Aku merasakan sesuatu yang hambar di saat remaja seusiaku tengah
menikmati masa puber mereka, aku di sini masih sibuk dengan aktivitas belajar
yang sangat membosankan. Jujur, aku sangat ingin seperti mereka merasakan jatuh
cinta dan punya pacar yang sebenarnya menyukai lawan jenis itu sudah ku rasakan
ketika masih SD, kalau nggak salah kelas 5. Namun, hanya sekedar suka, belum
ada hasrat ingin memiliki. Berbeda dengan sekarang yang mana sangat ingin punya
pacar seperti teman-temanku yang lain.
Aku
yang seorang penurut tak memiliki keberanian untuk melawan orangtuaku, aku
takut durhaka. Dari kecil aku tak membantah apa yang dikatakan orangtuaku
sekalipun aku tak suka dengan hal itu. Namun, aku akan berusaha untuk menyukai
apapun yang tidak ku suka selama itu pilihan yang terbaik yang dipilihkan orangtuaku
karena ku percaya bahwa ridho Alloh Swt. adalah ridhonya orangtua. Sedangkan
untuk berpacaran berarti aku harus menentang larangan orangtuaku. Berdasarkan
hasil diskusi antar sisi bathin, akhirnya aku memberanikan diri untuk menentang
larangan itu dengan menetapkan tanggal 8-8-2008 sebagai hari jadianku dengan
dia. Aku punya pacar untuk pertama kalinya. Aku minta maaf karena sudah tidak
mengindahkan peraturan kalian, orangtuaku untuk tidak pacaran karena hawa
nafsuku terlalu besar untuk diredam. Aku pacaran tanpa sepengetahuan
orangtuaku, backstreet.
Ada
kepuasan tersendiri saat aku menerimanya sebagai pacarku. Bukan karena siapa
dia yang kini menjadi pacarku, tapi karena kali ini aku bisa merasakan apa yang
dirasakan oleh remaja pada umumnya. Ternyata aku menyukai fase pendekatan
(PDKT) dimana doi selalu berusaha untuk mendekati target dengan berbagai cara
seperti yang dilakukan dia padaku. Meskipun aku selalu menghindar dan sok jual
mahal, tapi dengan gigih dia mendekatiku. Mungkin inikah rasanya diperjuangkan?
Apakah remaja perempuan lain juga merasakan hal yang sama di fase ini?
menurutku perempuan itu memang senang diperjuangkan, disanjung, dimengerti,
serta hal-hal sweet lainnya.
Sejak
tanggal itu aku mulai menjalani hari-hariku sebagai pacar dia yang ku rasa tak
perlu ku sebut namanya di sini. Setiap berangkat dan pulang sekolah selalu
bersama. Bukan aku yang mau, tapi dia yang meminta. Jujur, aku risih dengan
aktivitas pacaranku saat itu ditambah lagi aku takut jika orangtuaku tahu.
Namun, di sekolah kami memang jarang bersama. Aku lebih sering menghabiskan
waktu dengan sahabat-sahabat perempuanku, begitu pun dia yang lebih asyik
dengan teman-temannya. Setiap pulang sekolah aku sering ber-SMS-ria dengannya untuk
sekedar menanyakan sudah makan siang atau belum dan percakapan-percakapan
ringan lainnya. Sedangkan malam sebelum tidur dia rutin menelponku untuk
mengucapkan selamat tidur, terkadang kami mengobrol panjang sampai tengah malam
bahkan dini hari.
Terkadang
aku bertanya pada diri sendiri, kenapa aku bisa dekat dengannya, padahal
sebelumnya kami hanya pasangan huru-hara bak kucing dan anjing yang selalu
ribut dimana pun berada. Mungkin ini yang dinamakan ‘Benci Jadi Cinta’, pikirku
yang bucin saat itu. Namun, jujur aku tak mengerti apa itu cinta? Apakah aku
mencintainya? Entahlah, yang aku rasa saat ini hanyalah kenyamanan. Aku nyaman
bisa dekat dengannya, setidaknya aku punya teman cerita baru selain buku diary yang selama ini menjadi tempat
curhatku. Aku mendapatkan perhatian lain dari orang luar selain orangtuaku,
tapi yang paling penting adalah aku bisa nyambung ketika bercerita dengan
sahabat-sahabatku saat mereka membahas tentang pacar masing-masing, mungkin ini
alasan utama kenapa aku pacaran.
Hubungan
kami makin hari makin akrab, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya mungkin
karena sering beraktivitas bersama, misalnya berangkat dan pulang sekolah
bersama, latihan PASKIBRAKA bersama, bahkan saat ada kegiatan camping menyambut HUT PRAMUKA juga kami
bersama, tapi tunggu. Tenda kami terpisah jauh dan kami tidak melakukan hal-hal
negative ya, masih dalam pengawasan penuh oleh Pembina. Selain itu, banyak hal-hal
sweet yang ditunjukannya padaku,
seperti memberiku hadiah ulang tahun berupa cincin perak yang ku rasa asli
karena ada surat-suratnya dan harganya lumayan menguras kantong untuk ukuran
siswa SMP, lalu saat lebaran dia juga memberiku boneka beruang berwarna pink
sebagai hadiah lebaran, katanya. Saat itu aku bingung harus menyimpan boneka
pemberiannya dimana karena kalau di kamar pasti akan mengundang pertanyaan yang
teramat panjang dari orangtuaku. So ku
simpan boneka itu di dalam tas besar ber bulan-bulan lamanya. Namun, aku sempat
berpikir dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang itu
mengingat perannya sebagai siswa SMP kelas 3.
Inikah
yang disebut dengan ‘Dunia Milik Berdua’? ketika hari-hari hanya dipenuhi oleh
serba-serbi si dia. Di sekolah aku bersama dia, di rumah aku pun telponan
dengan dia, setiap waktu aku pasti berkabar dengan dia via SMS hanya untuk
saling mengingatkan jam makan, jam shalat, jam tidur, atau sekedar berhaha-hihi
membahas acara bola kesukaan kami. Kebetulan kami menyukai Soccer Club yang sama. Satu, dua, tiga bulan kami mengukir cerita
sebagai pasangan kekasih (belum halal) tanpa sepengetahuan orangtua
masing-masing.
Semenjak
mengenal pacaran, sedikit demi sedikit hidupku mengalami perubahan. Aku menjadi
ketergantungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dia lakukakn padaku, misalnya
kebiasaan mengirim pesan singkat atau telpon di jam-jam tertentu sekedar
mengingatkanku untuk makan, shalat, belajar, mengucapkan selamat tidur, dan
hal-hal lainnya. Aku sering dihantui negative
thinking dan rasa khawatir ketika dia tak memberiku kabar, apalagi saat ku
hubungi telponnya bernada sibuk. Selain itu, aku pun menjadi kaku di sekolah.
Aku tipikal orang yang cuek, tak peduli dengan tanggapan orang lain terhadapku.
Namun, kini aku menjadi lebih memerhatikan penampilanku, setiap gerak-gerikku
penuh dengan kehati-hatian, alasannya hanya satu karena tak ingin terlihat
buruk di depan dia. Aku juga kehilangan fokus dalam belajarku, terutama di
rumah. Seperti yang ku ceritakan sebelumnya bahwa sebagian besar waktuku habis
untuk berkomunikasi dengan dia. Sebenarnya dia tahu dan menghargai jadwal
belajarku, tapi aku yang bucin ini sulit menahan diri untuk tidak membalas
pesan singkatnya, bahkan aku sengaja mencari pembahasan sehingga saling balas
pesan pun berlanjut lagi di jam belajarku. Aku pernah mencoba untuk mengabaikan
pesannya, tapi aku malah ingin segera mengakhiri kegiatan belajarku agar bisa
ber-SMS-ria dengannya. Dan yang paling parah adalah ketika hubungan kami
dihadapkan pada trouble, entah itu
karena kesalah pahaman, dia yang ketahuan selingkuh, atau hal lain yang memicu
pertengkaran. Kalau sudah begitu konsentrasi belajarku mulai mengabur, aku jadi
malas belajar, bahkan sampai kehilangan nafsu makan, pikiranku dihantui
kecurigaan dan ketakutan, takut hubungan kami berakhir. Bukan, bukan takut
kehilangan dia, tapi aku takut kehilangan kebiasaan-kebiasaan yang sering
dilakukan. Aku ketergantungan. Aku benar-benar bucin alias budak cinta saat itu
yang sebenarnya masih disangsikan, apakah memang cinta atau bukan?. Jika
mengingat masa itu, aku jadi jijik sendiri.
Betul
kata pepatah, sepintar-pintarnya menyembunyikan isteri muda, lama-lama akan tua
juga. Ups, maksudnya sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai, lama-lama akan
tercium juga. Seperti yang terjadi pada hubungan kami yang akhirnya tercium
oleh Mama. Aku tak mengerti bagaimana Mama bisa tahu aku punya pacar. Selama
ini aku selalu berusaha menyembunyikan semuanya serapi mungkin. Sekalipun
berangkat dan pulang sekolah bersama, tapi bukan berarti bersama dari rumahku.
Entahlah, yang pasti saat itu Mama marah padaku. Mama memintaku untuk menjauhi
dia dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang beliau minta..
Dari
awal orangtuaku memang menentang pacaran di usia sekolah karena itu bisa
mengganggu belajar dan itu terbukti ketika julukan si nomor satu menghilang
dari diriku. Saat itu Mama begitu marah padaku, padahal gaya pacaranku bisa
dikatakan sangat standar jika dibandingkan dengan gaya pacaran remaja lain yang
mana malam minggu main keluyuran bareng pacarnya, setiap sore jalan-jalan boncengan
bareng pacarnya, atau saling berkunjung ke rumah pacar masing-masing. Sedangkan
gaya pacaranku hanya bertemu di sekolah dan sisanya berkomunikasi via ponsel.
Namun, apapun itu Mama tetap tidak suka. Menurutnya tidak pantas seorang anak
SMP berpacaran karena belum waktunya. Mama takut aku terjerumus dalam pergaulan
bebas remaja yang selalu menjadi trending
topic di segala zaman. Mama tak ingin aku menjadi bahan perbincangan orang
lain. Okelah, i see. Aku tidak
terlalu mengingat kisahku dengan dia secara lengkap karena itu terjadi dalam
kurun waktu yang cukup lama, yang pasti pada akhirnya aku mengakhiri kisahku
dengan dia.
Friends, betapa
tak berfaedahnya pacaran bagiku. Suatu hari aku pernah bertanya tentang manfaat
pacaran pada seorang penganut budaya pacaran. Dia mengatakan bahwa pacaran bisa
menjadi penyemangat hidup, menjadi alarm, sebagai teman curhat, dan sebagai
teman antar jemput, begitu katanya. Namun, entah kenapa aku tak sependapat
dengan apa yang dia katakana. Pacaran membuatku kehilangan fokus belajar.
Semangat belajar memang ada, dan akan selalu ada, tapi konsentrasiku terbagi
ketika mengenal pacaran. Alhasil nilai-nilaiku di sekolah menurun. Bagaimana
tentang penyemangat hidup? Sungguh tak adil bagiku jika menempatkan si pacar
sebagai penyemangat hidup mengingat orangtua lebih berperan penting dan
berkorban banyak dalam perjalanan hidupku sampai saat ini. Sedangkan untuk
alarm mungkin seperti yang ku ceritakan di atas, misalnya saling mengingatkan
jam makan, jam tidur, jam belajar, dan jam shalat, padahal kalau dipikir-pikir
rasa lapar lebih ampuh mengingatkan untuk segera makan, rasa kantuk ingatkan
kita untuk segera tidur, jam belajar sudah ada schedule tersendiri, dan shalat, apakah lantunan adzan tak cukup
mengingatkan untuk segera pergi shalat? Apakah pacar lebih dituruti
dibandingkan Tuhan kita sendiri?. Nah, untuk teman antar jemput, selama
transportasi umum masih beroperasi dimana-mana, itu tak jadi masalah bagiku
apalagi sekarang sudah banyak transportasi online.
Don’t worry! Biasakan melakukan segala sesuatu sendiri, mandiri sebelum
meminta bantuan orang lain supaya tidak mudah bergantung pada ornag lain. Yuk,
sama-sama kita jadikan bahan renungan.
Dari
awal aku memang salah karena mengabaikan larangan orangtuaku untuk tidak
pacaran di usia sekolah. Namun, saat itu egoku yang tengah mengalami fluktuasi
membuat pikiranku tak jernih. Aku lebih mementingkan rasa penasaranku
dibandingkan perasaan orangtuaku. Aku memutuskan untuk berpacaran karena ingin
tahu rasanya punya pacar seperti apa? Bagaimana rasanya dicintai, padahal rasa
cinta orangtua lebih besar dari apapun hanya saja mereka memiliki caranya
sendiri utnuk mengekspresikan rasa cintanya. Alasan lain untukku berpacaran
karena agar kekinian dan bisa nyambung jika sedang mengobrol dengan mereka yang
penganut budaya pacaran. Oh iya, satu hal lagi yang membuatku penasaran dengan
mereka para cowok yang suka membelikan hadiah kepada pacarnya, sedangkan posisi
para cowok itu sebagai siswa SMP yang belum memiliki pekerjaan. So darimana mereka mendapatkan uang
untuk membeli semua itu? minta kepada orangtuakah? Jika begitu, bagaimana
pendapat orangtuanya ketika tahu uang hasil kerjanya dipakai untuk membelikan
hadiah anak orang lain?. Atau mungkin hasil nabung dari uang jajan? Sungguh
mulia sekali rela menabung untuk beli hadiah anak orang lain, sedangkan untuk
kebutuhan sendiri beli buku saja minta ke orangtua. Yuk, kita renungkan
kembali.
Ok
friends, aku bukanlah orang yang
sempurna. Saat ini aku sudah tidak membudayakan pacaran, tapi bukan berarti aku
tidak pernah pacaran. Justru aku tidak pacaran karena tahu seperti apa pacaran
yang menurutku lebih banyak mudharatnya. Dalam diary ini aku hanya beropini atas apa yang aku alami dan rasakan.
Aku tidak menghakimi friends yang
memang membudayakan pacaran. Mungkin di antara friends ada yang memiliki opini lain dalam sudut pandang berbeda,
lebih positive. Aku terbuka dengan kritik dan saran karena blog ini adalah
tempat untuk sharing. Aku berharap mudah-mudahan diary ini
bisa bermanfaat untuk kita semua dan mohon maaf bila banyak kesalahan dalam
penulisannya. Akhirulkalam.
Komentar
Posting Komentar