Klik untuk sumber gambar |
Bismillaahirahmaanirrahiim....
Sebelumnya aku pernah
menulis Diary tentang The Marriage yang membahas perihal jodoh dan menikah. Diary kali ini pun sama, masih seputar
menikah. Maklum ya, aku lagi baper karena baru saja dapat undangan acara
Aqiqah, Mamaku sih yang diundang hehehe, tetapi malah aku yang baper. Why? Aqiqah anaknya mantankah? Tentu
bukan ya, friends. Jadi, sore itu
Mama dapat undangan Aqiqah dari salah satu adik kelasku dulu waktu SD, umurnya
tiga tahun lebih muda dariku dan dia cowok. Aku yang baru saja merayakan umur
yang ke ¼ abad seketika baper, membandingkan si adik kelas yang sudah merayakan
Aqiqahan anaknya di usia yang cukup muda bagi standar cowok, sedangkan aku di
sini masih bersantai ria dengan kesendirianku dalam fase penjemputan jodoh. Ya
Alloh. Menikah memang bukanlah perbandingan
apalagi perlombaan, menikah itu sebuah pilihan yang bebas setiap orang
menentukan, Apakah menikah muda? atau nanti sajalah ya, berkarir dulu. Namun,
belakangan ini menikah muda atau yang lebih sering disebut pernikahan dini
menjadi salah satu trend saat ini.
Pernikahan dini
adalah pernikahan yang dilakukan oleh dini. Eh bukan, maksudanya pernikahan
yang dilakukan di usia belia, biasanya kisaran di bawah 25 tahun kali ya.
Akhir-akhir ini tidak sedikit remaja-remaja yang memutuskan untuk menikah di
usianya yang masih terbilang muda. Nggak masalah sih, itu hak mereka yang
menjalankan, masih lebih baik daripada pacaran yang berkepanjangan tanpa diberi
kepastian dan berujung kepada perzinahan yang merupakan salah satu alasan para
remaja ketika hendak memutuskan untuk menikah muda. Namun, meski begitu perlu
diketahui bahwa menikah muda memiliki risiko yang perlu diperhatikan untuk
mental/ psikologis juga kesehatan organ reproduksi. Di usia muda, emosi
seseorang sering naik turun, tidak stabil yang dapat memicu terjadi
pertengkaran, begitu pun dengan ego yang sulit tertahan rentan mengundang
cekcok karena perbedaan prinsip. Selain itu, kesiapan mental juga perlu
diperhatikan untuk menghadapi kehidupan dalam pernikahan, mulai dari segi
ekonomi/ finansial, parenting saat
kelak memiliki anak, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang akan dihadapi saat
membina rumah tangga, dan yang tak kalah penting adalah organ reproduksi yang
menurut kesehatan dapat berkembang sempurna saat perempuan meginjak usia 20
tahun. Maka dari itu, untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan
peraturan berupa Sertifikasi Pranikah
sebagai upaya pembekalan untuk menjalani hidup berumah tangga.
Selain untuk
menghindari zina, menikah muda juga biasanya menjadi pilihan bagi pasangan yang
sudah terlalu lama bersama atau bahasa kerennya berpacaran, bising dengan bisikan-bisikan
para tetangga. Ada juga mereka yang memilih menikah muda karena dianggap lagi
kekinian ditambah lagi melihat teman-temannya yang telah menikah. Nah, yang
miris adalah mereka yang menikah muda karena terlalu semangat berpacaran sampai
kebablasan, na’udzubillah. Tak sedikit
di antara teman-temanku memilih untuk menikah di usia muda, tetapi tak sedikit
pula dengan mudah mereka mengakhirinya diiringi berbagai macam alasan, tetapi
alasan yang lebih banyak didengar sih disebabkan oleh banyaknya perbedaan yang
dianggap tak sejalan. Padahal kalau dipikir-pikir bahwa setiap individu itu memang
berbeda, berarti sebelum menikah pun sudah pasti memiliki banyak perbedaan. So, tak heran sih jika ada yang memilih
untuk tidak menikah karena hal negative tersebut. Kebanyakan mereka berpikir
untuk apa menikah jika akan berpisah dan sakit hati. Namun, hal tersebut jangan
sampai dijadikan pedoman karena hal negative pasti memiliki sisi positive. Coba
lihatlah lebih dekat (kayak lagunya Sherina) dari kedua sudut pandang.
Setiap orang berhak
untuk menikah. Menurutku seseorang yang memutuskan untuk menikah berarti ia
telah siap untuk berkomitmen, artinya siap bertanggung jawab dalam menjalani
kehidupan pasca menikah, bukan hanya sekedar mengucap janji suci dan berpesta
meriah. Mungkin benar bahwa menikah tak harus menunggu mapan, tetapi harus
memiliki persiapan setidaknya punya sumber mata pencaharian khususnya untuk
laki-laki yang kelak berperan sebagai kepala keluarga. Jangan sampai setelah
menikah malah menjadi tanggungan orang tua. Belakangan ini media ramai
memberitakan adanya perubahan batas usia perkawinana maksimal menjadi 19 tahun
untuk laki-laki dan perempuan yang sebelumnya 16 tahun bagi perempuan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dengan harapan psikis calon pengantin bisa lebih
siap serta dapat mengurangi risiko yang berhubungan dengan kesehatan organ
reproduksi.
Dulu aku merasa heran
atau mendadak speechless ketika
mendapat undangan atau sekedar mendengar bahwa salah satu temanku menikah di
usia yang mana belum terpikirkan olehku sendiri. Usia dimana aku masih sibuk berhaha-hihi dengan
masa mudaku. Menikah? Sebuah kata yang belum match dengan otakku, tetapi ‘kok bisa?’ mereka memutuskan untuk
menikah muda. Ya sudahlah, aku juga tak perlu tahu apa yang melatarbelakangi
keputusan mereka. Namun, yang ku tahu bahwa menikah itu rumit. Hidup dengan
orang lain, hamil, melahirkan, mengurus anak, dituntut untuk bisa masak,
terkekang, serta mengerjakan aktivitas rumah tangga lainnya yang sulit diterima
oleh pikiranku, padahal sebenarnya usiaku bisa dikatakan sudah melewati batas
usia yang ditentukan oleh pemerintah saat itu. Dan memang benar, ternyata usia
tidak selalu bisa dijadikan sebagai tolak ukur kedewasaan dan kesiapan mental
seseorang, tetapi lebih cenderung pada pola pikir. Ada kalanya seseorang
menganggap pernikahan itu rumit dan menganggap lebih baik sendiri, bebas
melakukan apapun bersama teman dan sahabat, tapi kelak ada saatnya kerumitan
yang sempat dibayangkan berubah menjadi sebuah keinginan untuk menikah.
Keinginan untuk membangun rumah tangga, memiliki keluarga dan keturunan, serta
perlahan menyadari bahwa suatu hari seorang teman, sahabat, dan orang-orang
terdekat akan pergi bersama kehidupannya masing-masing. Jangan sampai kesepian
dan kesendirian menghantui di setiap perjalanan hidup hingga hari tua.
Kapan sebaiknya
menikah? Bebas asal sudah bertemu jodohnya, terserah yang menjalankan bahkan di
era ini banyak diberitakan anak-anak di bawah umur melangsungkan pernikahan.
Namun, ya seperti yang dipaparkan di atas bagaimana korelasi antara UU
Perkawinan yang telah direvisi oleh pemerintah dengan risiko pernikahan dini.
Ketika seseorang memilih untuk menikah muda, saat kelak memiliki anak,
kemungkinan usianya tidak terlalu jauh dan masih produktif. Namun, harus rela
kehilangan masa muda, mengorbankan pendidikan dan karir walaupun ada juga
mereka yang berhasil mengimbangi antara pendidikan, karir, dan rumah tangga,
tergantung pribadi masing-masing. Sedangkan jika menikah di usia matang kemungkinan
mental lebih siap dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang akan dihadapi,
menghabiskan masa muda, memiliki banyak waktu untuk mengeksplorasi diri
sendiri, misalnya dengan menyelesaikan pendidikan, dan fokus dalam berkarir.
Namun, yang perlu diperhatikan yakni perihal kesenjangan usia yang terlalu
besar dengan anak serta tingkat kesuburan bagi perempuan.
So,
menikahlah jika
memang sudah waktunya untuk menikah. Entah itu di usia muda atau di usia matang
tergantung kesiapan masing-masing orang, mulai dari fisik, psikis, dan jodoh
tentunya. Jangan terburu-buru, jangan pula ditunda-tunda hehehe. In my opinion, angka 25 adalah angka
yang pas untuk menikah, tidak terlalu muda dan cukup matang ku rasa. Bagaimana
menurut kalian? Semoga yang sependapat denganku segera dipertemukan dengan
jodohnya dan dilancarkan segala urusannya, pun bagi yang tidak sependapat.
Akhirulkalam.
BACA JUGA : The Marriage
Komentar
Posting Komentar