Assalamu'alaykum, Diaris. Hari Selasa, aku lupa tanggalnya, tepat jam sepuluh pagi aku (masih ditemani suami terbaikku ya) tiba di Bogor Eye Center. Sesuai dengan jadwal yang tertera di surat kontrol. Namun, sepertinya aku salah mengatur waktu saat menyaksikan begitu banyak manusia memenuhi setiap sisi dan sudut ruang tunggu. Kuambil nomor antrean, lalu mencari tempat duduk. Hanya ada satu tempat duduk yang tersedia. Suami terbaikku terpaksa melipir ke cafetaria sekalian numpang zoom meeting karena hari itu dia memang nggak ambil cuti. Aku duduk bersandar di kursi sambil memerhatikan sekelilingku.
Kudengar percakapan sepasang lansia yang kurasa mereka bukan suami-istri karena masing-masing mereka berasal dari daerah yang berbeda. Salah satunya bercerita bahwa ia sudah menunggu dari jam delapan pagi, tetapi namanya belum dipanggil juga. Subhanalloh.. apa kabar diriku yang baru saja tiba ini. Aku mengintip ke dalam ruang Dokter Nanda lewat kaca pintunya yang posisinya tepat di depanku. Oh beliau sudah ada, sudah banyak juga pasien yang masuk ke ruangannya silih berganti.
Lama-lama bosan juga berada di sini. Selain pusing melihat orang wara-wiri, ada yang ke toilet, keluar-masuk ruang operasi, bolak-balik ke counter pendaftaran, keluar-masuk ruangan dokter, wara-wiri ke tempat pra pemeriksaan, ditambah lagi dengan suara bising mereka yang saling cerita bagaimana bisa sampai ke Bogor Eye Center. Perlahan-lahan jumlah manusia di ruangan itu mulai berkurang, entah pada kemana, aku nggak tahu karena sudah tak memerhatikan lagi.
Kini suami terbaikku sudah berada di sampingku lagi, mungkin zoom meetingnya sudah selesai bersamaan dengan dipanggilnya nomor antreanku. Seperti biasa aku datang ke counter pendaftaran sambil menyerahkan KTP dan kartu asuransi. Aku dapat nomor antrean 49. Lalu si mbaknya menginfokan kemungkinan nomor antreanku baru dipanggil sekitar jam tiga sore. Hmm.. akhirnya terjawab sudah kenapa ruangan ini cepat sekali lengangnya, mungkin mereka mendapatkan informasi yang sama sepertiku. Kutengok jam di ponsel menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Waktunya anakku makan siang. Setelah berdiskusi dengan suami, akhirnya kami pulang ke rumah karena aku belum menyiapkan makan siang untuk anakku.
Ceritanya aku dan suami sudah di rumah lagi. Rencananya jam dua atau setengah tiga nanti kami akan berangkat lagi ke Bogor Eye Center. Kami baru saja hendak bersiap-siap, tiba-tiba aku dapat telepon dari Bogor Eye Center. Aku diminta untuk segera datang ke sana.
Iya Bu, di luar dugaan kami. Ternyata lebih cepat. Kami tunggu ya Bu. Terimakasih. Begitu katanya.
Aku lupa berangkat jam berapa, tetapi yang kuingat jam setengah tiga sore aku sudah sampai di TKP. Di sana masih tampak lengang, pasien belum berdatangan. Kuhampiri perawat di tempat pra pemeriksaan dan benar berkasku ada di sana. Aku langsung melakukan pra pemeriksaan. Setelah itu aku menunggu namaku dipanggil ke ruang dokter untuk laser retina. Lagi-lagi kecemasan menghantui. Aku takut ada masalah lagi seperti sebelumnya.
Sekitar jam setengah tujuh malam, namaku dipanggil. Aku masuk ke ruang dokter. Mataku diperiksa menggunakan slit lamp sebelum proses laser retina dilakukan. Dokter Nanda juga memberitahukan bahwa tindakan laser retina ini tidak menyebabkan floaters menghilang, laser hanya berfungsi untuk menutup robekan pada retina. Setelah itu, aku diminta menunggu di depan ruang laser setelah sebelumnya menandatangani surat persetujuan tindakan laser seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
Kali ini beneran nih Diaris. Namaku dipanggil pertama. Aku masuk ke ruang laser dan diminta duduk di depan sebuah alat yang kurasa itu alat lasernya. Mata kiriku ditetesi obat bius, lalu aku diminta untuk menutup mata supaya obat bius bekerja dengan sempurna.
Dokter Nanda masuk ke ruangan, menyiapkan alat laser. Di tempat dimana aku dan Dokter Nanda berada terdapat tirai yang baru saja ditutup oleh perawat. Gambarannya seperti tirai yang menutupi tempat tidur pasien di kamar rawat inap. Kemudian aku diminta untuk membuka mata lebar-lebar. Bola mata kiriku ditempeli benda mirip tutup botol yang permukaannya telah diolesi gel. Mata kiriku terasa seperti tertekan. Lalu lampu dimatikan dan proses laser retina pun dimulai. Asli, silau meeeenn. Nggak sakit, tapi nahan silaunya itu loh bawaannya kepingin nutup mata terus.
Eh tapi baru beberapa menit saja proses lasernya dihentikan. Kukira sudah selesai, ternyata pupil mataku menyempit lagi. Jika pupil menyempit, maka retina tak terlihat sehingga tidak bisa dilakukan laser, takut salah sasaran. Mungkin karena tadi sesekali aku membuka mata saat proses bius. Hehehe. Nggak nurut emang. Terpaksa mata kiriku ditetesi obat bius lagi, dan aku menunggu di antrean terakhir. Nasib jadi penghuni terakhir.
Baca juga : Awal Mula Terkena Eye Floaters
Kali ini aku benar-benar menuruti aturan, aku nggak mau jika harus reschedule jadwal lagi. Aku terus menutup mata hingga giliranku tiba. Aku mengikuti setiap tahapannya.
"Ngik.. Ngik.. Ngik.." Kurang lebih seperti itu bunyi lasernya. Cahaya hijau yang begitu silau terus wara-wiri di penglihatanku. Kurang lebih lima belas menit sudah proses laser dilakukan. Mata kiriku dilepas dari si tutup botol. Rasanya lengket sekali. Mbak perawat membantuku membersihkan gel yang menempel di mata kiriku. Rasanya bola mataku seperti hendak keluar. Pandanganku juga tampak kabur dan terasa silau, seperti ada cahaya-cahaya ungu di hadapanku.
Aku keluar ruangan menghampiri suami terbaikku yang masih setia menunggu. Tak lama kemudian aku diminta ke counter pendaftaran untuk menyelesaikan administrasi, tepatnya sih mengambil KTP, kartu asuransi, kwitansi, dan obat tetes mata yang telah diresepkan. Aku juga dapat surat kontrol untuk bulan depan.
Alhamdulillaah... akhirnya kurang lebih jam setengah delapan malam aku sudah ada di rumah lagi. Lagi-lagi ucapan terimakasih banyak untuk suami terbaik dan mertuaku yang seringkali kurepotkan.
Ok Diaris, mudah-mudahan ada yang bisa dipetik dari diary kali ini ya. Tunggu kelanjutannya di diary berikutnya. See you.
Baca juga : KONDISI MATA KIRI PASCA LASER RETINA
Komentar
Posting Komentar