Assalamu'alaikum..
Tanggal
22 Desember adalah hari ibu, hari peringatan atas peranan seorang ibu terhadap
keluarganya maupun lingkungan sosialnya.
Peringatan hari ibu di setiap negara itu berbeda-beda. Lantas kenapa
Indonesia menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu?. Hari ibu ditetapkan
oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk penghormatan kepada para ibu di dunia ini
melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959 yang menetapkan tanggal 22
Desember sebagai hari ibu karena pada tanggal tersebut bertepatan dengan
diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang dilangsungkan di
Yogyakarta.
Bagaimana
merayakan hari ibu?. Jika dilihat dari tujuan ditetapkannya hari ibu, maka
untuk merayakannya ku rasa cukup dengan mengistimewakan seorang ibu. Misalnya,
dengan menggantikan pekerjaan rumah yang rutin dilakukan oleh Ibu, mengajaknya
makan di restaurant yang belum pernah dikunjungi beliau, memberikan kado, atau
segala hal yang bisa membuatnya bahagia dan istimewa.
Aku
jarang mengirim ucapan selamat hari ibu kepada ibuku atau memosting foto beliau
di sosmed dengan caption ‘I love you, bu.’
Apakah sikapku ini mencerminkan bentuk ketidakpedulian terhadap orang tua? Atau
aku durhaka?. Bagiku hari ibu bukan hanya ada di tanggal 22 Desember saja, tapi
hari ibu adalah semua hari-hari yang aku jalani. Di semua hari yang ku lalui
ini, aku selalu berusaha untuk membuat perubahan sekecil apapun yang mungkin
tak orang lain sadari. Berusaha menjadi anak yag baik, anak yang selalu menjaga
kehormatan orang tuanya. Hal yang sering ku coba untuk dihindari setiap harinya
adalah tidak membuat kecewa dan tidak membuatnya khawatir.
Aku
seorang penurut, tak berani aku membantah apapun yang diucapkan kedua
orangtuaku. Sekali pun aku membantah, maka jalanku akan salah. Itu yang biasa
aku rasakan saat aku tak mengindahkan ucapan mereka. So, apapun yang orang tuaku katakan, walaupun tak sejalan dengan
apa yang ku mau, selama itu tidak menyimpang dari aturan agama, why not?. Aku hanya berpegang pada
kalimat ‘Ridho Alloh, ridhonya orang tua’. Seperti yang pernah aku ceritakan di
diary Backstreet, aku terlahir dari keluarga yang mengutamakan
pendidikan. Saat sekolah aku dituntut untuk menjadi nomor satu yang merupakan
sebuah beban berat bagiku. Aku harus merelakan sebagian besar waktuku untuk
belajar. Pagi hingga siang aku sekolah umum, siang sampai sore ku pakai untuk
sekolah agama, sore hingga malam waktunya belajar mengaji, dan sebelum tidur
aku belajar lagi, entah untuk mengerjakan PR atau sekedar mengingat pelajaran
untuk besok. Kulakukan secara berulang setiap harinya, untung masih ada hari
minggu yang bisa ku pakai untuk sekedar menghibur diri sebelum malamnya mereview pelajaran untuk esoknya lagi. Lelah
bukan? Mungkin orang tuaku tahu kapasitas anaknya yang bukan sebagai anak
cerdas sehingga untuk menjadi nomor satu perlu usaha yang maksimal. Hasil yang
maksimal berasal dari usaha yang maksimal pula.
Selain
menjadi nomor satu, orangtuaku juga membuat aturan-aturan seperti, larangan
untuk bermain ke luar, ke rumah teman kecuali karena ada tugas sekolah yang
memang mengharuskan aku untuk ke luar rumah, orangtuaku lebih memilih temanku
yang main ke rumah, larangan untuk berpacaran yang membuatku jadi terlihat
kuper karena teman-temanku memiliki pacar saat itu. Sebagian temanku ada yang
menjuluki aku sebagai anak manja yang terlalu patuh bahkan mereka menilai
orangtuaku tidak demokratis atau tidak memberikan kebebasan kepada anaknya. Pada
masa itu, aku pun berpikir semacamnya bahkan sempat mengira kalau orangtuaku
tak pernah menyayangiku, tak mengerti aku, tapi kini aku sadar bahwa orang
tuaku bukanlah tidak demokratis, mereka hanya berupaya untuk melindungi
anak-anak perempuannya dari segala hal yang dianggap bahaya. Mereka melindungiku
dari pegangan tangan dengan yang bukan mahrom, melindungiku dari perasaan galau
yang tak seharusnya, melindungiku dari menangisi orang yang salah, melindungiku
untuk tidak berpelukan saat boncengan dengan yang bukan mahrom, melindungiku
untuk tidak menatap mata yang salah, yang mana semuanya merupakan asal-muasal
dari perzinahan yang selalu merebak di segala zaman. Mereka hanya ingin
melindungi kehormatan dan kesucian anak perempuannya yang memang wajar
dilakukan oleh orang tua.
Mematuhi
perintah orang tua memang menjadi salah satu tugas wajib sebagai seorang anak,
walaupun aku pernah menyesali itu karena terlalu patuh pada mereka. Aku memiliki
banyak hobi, seperti, menyanyi, membaca buku, dan menulis. Namun, menulis
merupakan hobi yang sampai saat ini menjadi candu bagiku. Setiap hari selalu
ada hal yang ingin ku tuangkan dalam setiap lembar halaman. Aku hobi menulis
bukan berarti tulisanku bagus, aku menulis karena aku merasa hanya perlu
menulis. Saat pemilihan jurusan di sekolah tingkat atas, hasil psikotesku
cenderung masuk kelas IPA, walaupun sebenarnaya aku ingin sekali masuk kelas
Bahasa. Aku ingin belajar banyak tentang kepenulisan, bahasa, dan sastra karena
ingin memperbaiki kualitas tulisanku yang tak jarang mendapat komentar yang
kurang mengenakan dari teman, bahkan keluargaku sendiri. Tulisanku yang
amburadul dan nggak jelas itu tak akan menjadi uang, begitu kata mereka. Untung
saja aku tak memedulikan komentar mereka, justru hal tersebut membuatku semakin
ingin memperbaiki tulisanku. Namun, orang tuaku dengan segala alasan dan
pertimbangannya memintaku untuk masuk kelas IPA. Memang tidak ada unsur
paksaan, hanya saja dalam setiap kalimatnya terdapat penekanan. Apa yang
terjadi? You know-lah…
Hmm..
cita-citaku ingin jadi apa ya? Pertanyaan yang seharusnya aku sudah punya
jawabannya. Setahuku dari kecil aku ingin menjadi guru supaya ilmunya bisa
bermanfaat untuk banyak orang. Mungkin menjadi anak eksak merupakan langkah
awal untuk menjadi seorang guru yang kelak bisa membantu murid-muridnya
memecahkan rumus kimia, fisika, dan matematika. Dengan seiring berjalannya
waktu, ku rasa aku mulai menginjak dewasa, aku berpikir mungkin ini saatnya aku
bisa menentukan pilihanku sendiri, termasuk memilih perguruan tinggi dan
jurusan yang ku mau. Awalnya aku sempat mendaftar ke perguruan tinggi negeri
dengan jurusan pilihanku sendiri melalui jalur beasiswa, tapi ternyata memang
bukan jodohnya. Aku mendapatkan penolakan. Menjadi 10 besar tidak menjamin
lulus jika kurva nilainya fluktuasi. Sedih sih, friends. So, mau nggak
mau aku mengikuti saran orang tuaku untuk mendaftar di salah satu perguruan
tinggi swasta mengambil program Diploma Akuntansi. Sudah seperti petualang,
mencicipi banyak rasa. Usai menjadi anak eksak, kini merambah menjadi anak
ekonomi. Ingin rasanya aku memilih jurusan sastra saja, tapi tak mungkin
disetujui ditambah lagi tak ada program diploma untuk jurusan sastra. Mungkin rezekiku
ada di program diploma ini, pikirku kala itu. Tak perlulah aku merengek atas egoku,
yang perlu dilakukan hanyalah bersyukur karena aku masih diberi kesempatan
untuk melanjutkan studiku dengan ilmu pengetahuan yang berbeda.
Seperti
yang aku katakana sebelumnya bahwa aku kesal pada diri sendiri dan menyesal karena
terlalu patuh sehingga mengabaikan keinginanku sendiri. Aku ingin seperti
mereka yang berjalan sesuai arah yang mereka pilih, mereka berjuang mencapai
cita-citanya sesuai alur yang seharusnya. Aku? Aku berjalan seolah tak punya tujuan,
hidupku terlalu dimonitor, bahkan aku sering kebingungan ketika dihadapkan
sebuah pilihan, rasa takut salah selalu menguasai pikiranku, aku nyaris tak
punya pendirian. Mungkin aku merasa bahwa jalan yang ku lalui ini adalah jalan
yang salah, tapi aku selalu yakin bahwa pilihan orang tuaku adalah pilihan
terbaik yang Alloh Swt. pilihkan melalui mereka. Aku lulus sebagai anak eksak
dengan nilai yang baik, begitupun dengan menjadi anak ekonomi, aku lulus dengan
hasil memuaskan walaupun aku tak tahu langkah apa yang akan ku pilih setelah
lulus, apakah menjadi guru sesuai cita-citaku dulu? Karyawan perusahaan? Atau ku
lanjutkan sekolah sastra untuk memperbaiki tulisanku?, entahlah. Satu hal yang
dapat ku pelajari dari semua ini, aku belajar untuk selalu bertahan dalam
segala keadaan sekalipun keadaan tersebut bukan yang aku mau, menjadi seorang
yang selalu memanfaatkan setiap kesempatan dengan baik, dan selalu berpikir
positif atas apa yang terjadi padaku, ku rasa itu yang ingin diajarkan orang
tuaku.
Kata
terima kasih tidak cukup untuk orang tuaku yang telah banyak mengajarkan arti
hidup, yang telah menjadi pelindungku. Rasa sesal yang pernah ku rasa, kini
berubah menjadi rasa syukur karena telah tercipta dari darah mereka, aku tumbuh
kuat dari didikan mereka, dan aku bahagia karena do’a mereka. Apalah arti sebuah
cita-cita dan keinginan jika hal itu tidak bernilai manfaat bagi orang lain,
termasuk orang tua. Kesuksesan itu bukan hanya dinilai dari tercapainya
cita-cita seseorang, melainkan seberapa manfaatkah hidupmu untuk orang lain. Memiliki
harta yang melimpah bukanlah tolak ukur kesuksesan jika tak mau berbagi. Memiliki
banyak ilmu, tapi tak mau berbagi dengan orang lain. Saat hidupmu bermanfaat
untuk orang lain, maka itulah kesuksesan yang sesungguhnya. Mungkin aku belum
bisa menjadi seorang guru atau tenaga pendidik yang selalu berbagi ilmu, tapi
harapanku adalah aku bisa bermanfaat bagi orang lain melalui tulisanku.
So, bukan
hanya di tanggal 22 Desember saja, bukan pula hanya untuk ibu saja, tapi
bahagiakanlah orang tua setiap harinya mulai dari hal-hal kecil, dengan selalu
memberikan kabar baik, tidak membuatnya khawatir, tidak membuatnya kecewa, medo’akannya,
dan masih banyak lagi yang bisa kita lakukan. Bagi yang masih single, surgamu adalah orang tuamu,
patuhi mereka selama tidak menyimpang dari ajaran agama. Jangan sampai kamu
lebih patuh sama pacarmu (bagi yang menjalankan, hehe) yang belum tentu menjadi
suamimu dibanding orang tuamu yang rela berjuang selama ini demi kebahagianmu. Sedangkan
untuk kamu yang telah memiliki pasangan halal, surgamu adalah suamimu, tapi
bukan berarti mengesampingkan orang tuamu. Sayangi mereka semuanya, karena
pernikahanmu berasal dari do’a mereka juga. Dan percayalah bahwa suatu hari
kamu akan berterima kasih dengan apa yang kamu benci dan sesali saat ini.
Ok,
Friends. Tulisan ini bukan untuk
menggurui. Ini hanya sekedar sharing. Jika
ada yang tidak berkenan atau ada kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirulkalam…
Komentar
Posting Komentar