Menjadi seorang ibu merupakan anugerah terindah dalam hidupku. Saat aku tahu ada janin dalam rahimku waktu itu, seketika itu pula aku bersyukur pada Allah SWT yang telah memberikan kepercayaan padaku dan suami. Aku berikrar dalam hati bahwa akan menjaga dan mengasuhnya kelak saat terlahir ke dunia, meski harus melepaskan karirku.
Jujur, waktu itu aku masih belum puas berkarir. Saat itu, aku masih bekerja di sebuah perbankan yang menurutku di sana, aku tak bisa mengembangkan karir sesuai dengan basic pendidikanku. Aku lulusan akuntansi, tapi aku bekerja di bidang lain. Jadi, waktu itu aku tengah mencari peluang kerja di perusahaan lain sesuai dengan basic pendidikanku. Aku ingin bekerja di perusahaan manufaktur karena penasaran dengan praktik akuntansi di sana. Sesekali aku juga menghadiri undangan interview dari perusahaan yang kulamar, walau hasilnya masih gagal.
Selain itu, aku juga masih semangat mengikuti tes seleksi CPNS, mencari peruntungan di sana. Salah satu keinginan kedua orang tuaku juga, tapi sayangnya masih gagal. Oh iya, aku juga punya rencana untuk melanjutkan pendidikan waktu itu. Intinya, aku masih punya banyak keinginan untuk dicapai. Namun, aku memilih arah jalan yang berbeda. Aku memutuskan untuk menikah, dan seketika itu pikiranku banyak berubah.
Bentuk Tanggung Jawab Wanita Calon Ibu
Seperti pasangan suami istri pada umumnya, aku dan suami mendambakan keturunan sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga kecil kami. Alhamdulillah Allah SWT kehendaki, walaupun sempat ragu juga apakah aku bisa menjadi seorang ibu yang baik atau tidak?. Namun, jika Allah SWT sudah berkehendak, berarti itu yang terbaik untuk hambaNya.
Ketika aku mengharapkan keturunan, lalu Allah SWT mengabulkan harapanku, aku merasa bahwa ini adalah karunia, sebuah amanah besar yang mana aku harus bertanggung jawab atasnya. Aku harus menjaga dan merawat amanah itu sebaik mungkin, baik sejak masih dalam kandungan hingga terlahir ke dunia.
Setiap manusia pasti memiliki caranya sendiri dalam menjaga amanah yang diberikan padanya. Pun setiap orang tua, khususnya wanita calon ibu, mereka pasti punya caranya sendiri dalam menjaga amanah besar, yaitu seorang anak yang telah dititipkan padanya. Bentuk tanggung jawabku sebagai calon ibu waktu itu adalah dengan memilih resign dari tempat kerja, bahkan berhenti sejenak mengejar karir, serta menutup rencana melanjutkan pendidikan.
Jika melihat contoh diluar sana, tak sedikit wanita yang berperan sebagai ibu, merangkap tugas pula menjadi wanita karir. Semua seakan terlihat baik-baik saja. Namun, entah kenapa aku merasa bahwa aku ragu dengan kemampuanku, jika harus menjalankan dua peran seperti itu. Ditambah lagi, aku termasuk salah satu manusia yang sulit percaya dengan orang lain dalam banyak hal, apalagi menyangkut pengasuhan anak.
Biarlah jika dikata lebay. Bagiku, selama situasinya mendukung aku untuk mengasuh anak secara utuh, why not?. Tak apa tak punya karir, tak apa tak berpenghasilan seperti sebelumnya, aku serahkan semua pada Allah SWT yang maha memberi rezeki, aku serahkan semua tugas mencari nafkah sepenuhnya pada suami sesuai fitrahnya.
Sejak usia kandunganku tiga bulan, kuputuskan resign dari tempat kerja, dan sejak itu aku resmi menjadi IRT (Ibu Rumah Tangga) yang setiap hari beraktivitas di rumah. Awal-awal sih bosan ya, perlu adaptasi dengan kondisi yang baru. Sesekali aku jualan online di rumah, niatnya biar ada kegiatan lain dan menghasilkan cuan (hihihi), aku juga mulai aktif lagi nulis Blog hingga perlahan aku mendapatkan job dari nulis Blog. Alhamdulillah, aku jadi punya kegiatan baru di rumah sekaligus menghasilkan. Definisi rezeki datang dari arah tak terduga. Masya Allah.
Singkat cerita, aku pun melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu dengan kesibukkan yang baru. Aku sudah mulai jarang posting jualan online, pun dengan nulis Blog. Keduanya dilakukan hanya sesekali, saat senggang (biasanya saat anakku tidur). Meski begitu, aku masih bisa menghasilkan uang karena tak jarang tawaran kerja sama nulis Blog masih berdatangan. Alhamdulillah.
Aktivitas menulis Blog ini merupakan hobi lamaku yang memang dilakukan secara suka-suka dan tanpa target apa-apa, tapi semenjak dapat tawaran kerja sama, aku merasa bahwa hobi ini butuh keseriusan. Nggak bisa nulis Blog hanya sesekali saja, aku juga merasa perlu belajar tentang kepenulisan, aku pun harus mengatur waktu menulis agar terbiasa dengan deadline. Aku jadi makin semangat nulis Blog yang membuat konsentrasiku jadi terbagi-bagi.
Saat anakku masih bayi, tak banyak aktivitas yang kulakukan selain menyusui, memandikan, serta menemaninya saat terjaga. Dikarenakan bayi lebih banyak waktu tidurnya, itu berarti aku juga punya banyak waktu untuk menulis. Soal pekerjaan rumah, semua sudah ditangain suamiku dengan baik. Alhamdulillah beliau kerja remote dari rumah sehingga bisa mengerjakan pekerjaan rumah disela-sela kesibukannya mencari nafkah.
Beda cerita ketika anakku mulai masuk fase makan. Kegiatanku bertambah, yaitu masak MPASI. Aku harus mencari menu-menu MPASI bergizi dan enak untuk makan anakku. Dari sinilah konsentrasiku mulai kacau.
Semakin anak tumbuh, semakin sibuklah wanita yang sok emak-emak ini. Tak jarang emosi tersulut hanya karena hal-hal sepele, nada tinggiku mulai tersengar di telinga anakku. Semuanya efek konsentrasiku yang terbagi-bagi, antara mengurus anak yang mulai tantrum, GTM ( susah makan), memikirkan ide-ide menulis, serta perihal urusan rumah lainnya. Hal ini membuatku benar-benar capek dan merasa bersalah pada anakku yang tak tahu apa-apa.
Akhirnya aku merefleksi diri, apa yang salah? Apa yang sebenarnya kukejar? bukankah tujuanku ingin mengasuh anakku dengan baik?. Lantas, apa yang kulakukan saat ini?. Aku memang sudah resign, bahkan sudah lama dilakukan dengan alasan ingin fokus mengasuh anak, tapi kenapa aku masih sibuk ingin berpenghasilan?. Bukankah nulis itu sekadar hobi?, tapi kenapa malah dianggap jadi sumber cuan?.
Padahal aku sudah menyadari bahwa aku tak mampu menjalankan dua tugas, mengasuh anak dan mencari cuan dalam waktu bersamaan. Hasilnya, aku tak maksimal dalam mengasuh anak, pun tak maksimal dalam menulis. Tak bisa sempurna, memang tak ada yang sempurna.
Setelah merefleksi diri, aku perlahan menurunkan egoku untuk mulai berkarir dengan hobiku. Aku kembalikan menulis sebagai hobiku yang hanya bisa dilakukan benar-benar saat senggang aja. Terkadang aku iri dengan para wanita diluar sana, khususnya para ibu bekerja yang masih bisa berkarir, masih punya waktu untuk dirinya sendiri, tanpa aku tahu apa yang mereka rasakan sebenarnya. Ups, jangan marah ya kalian ibu bekerja yang baca ini, ini sekadar isi pikiran seorang IRT yang sedang kelelahan berperang dengan emosinya (hihihi). Aku percaya setiap ibu punya strugglenya masing-masing.
Menjadi seorang ibu memang nggak mudah ya. Itu aku rasakan setelah benar-benar mengalaminya, jadi seorang ibu. Sebelumnya, aku beranggapan bahwa menjadi ibu itu akan selalu seru, apalagi saat melihat konten-konten parenting di medsos yang mana menunjukkan seorang ibu yang begitu pandai membagi waktu, pun dengan seorang ibu yang selalu tampak berlemah lembut pada anaknya. Seketika aku lupa bahwa apa yang kulihat itu sebatas konten loh, tanpa tahu behind the scenenya.
Sejak menjadi seorang ibu, aku merasa seperti punya kepribadian banyak (wkwkwk). Aku bisa menjelma dalam beberapa peran, kadang menjadi ibu yang lemah lembut, menjadi guru sekolah, menjadi ustadzah, menjadi bestinya anak, menjadi psikolog, bahkan menjadi singa yang meraung-raung juga bisa (ini jangan deh harusnya, wkwkwk).
Selama menjadi ibu, seringkali aku egois terhadap anakku. Aku banyak menuntut ini dan itu, lupa bahwa anakku masih kecil yang masih berproses sesuai tahapan usianya. Dan egoisnya lagi aku menolak saat anakku menginginkan ibunya untuk selalu berlemah lembut padanya, tak memarahinya saat dia nggak menghabiskan makanannya, juga tak ikut berteriak saat dia berteriak karena suatu hal.
Sebagai seorang ibu yang lebih dulu hidup di dunia, harusnya bisa menggunakan sisi kedewasaannya dalam memahami anaknya yang baru terlahir ke dunia. Aku harus lebih sabar dalam mendampingi setiap proses hidup anakku yang masih belajar. Lagipula, yang belajar itu bukan hanya anakku aja, melainkan aku pun masih belajar menjadi seorang ibu.
Jadi, sebagai manusia yang sama-sama belajar, harus berjalan beriringan. Aku nggak boleh jadi ibu egois yang hanya menerima fase lucu-lucunya aja, tapi juga harus memahami setiap fase tantrumnya karena keduanya adalah bagian dari proses kehidupannya.
24 jam mengasuh anak balita setiap hari tuh rasanya emang nano-nano. Kadang mancing emosi naik, tak jarang juga membuat aku bersyukur sepanjang hari. Disamping tantrumnya, tak sedikit kejutan yang diberikan oleh anakku setiap harinya, salah satunya seperti beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba dia menunjukkan kemampuannya membaca diusianya yang belum genap empat tahun. Aku hanya bisa bersyukur menyaksikan itu sambil menangis, meratapi diri ini yang selalu merasa sulit bersabar saat menjadi ibu.
Awal Mula Aku Tahu Anakku Bisa Baca
Jadi, waktu itu aku lagi senang-senangnya mengenang masa lalu dengan menonton kembali serial kartun Chibi Maruko via kanal youtube. Kartun favoritku waktu kecil. Aku biasa menontonnya saat jam makan, sarapan atau makan siang bersama anak balitaku yang sudah pintar makan sendiri. Jadi, kami sering makan bersama sambil menonton kartun Chibi Maruko.
Pernah ada satu episode, disalah satu scenenya muncul tokoh bernama Yamada, salah seorang teman sekelasnya Maruko. Tokoh Yamada ini selalu memakai pakaian kaus dengan bagian depan bertuliskan namanya 'Yama'. Saat tokoh Yamada muncul, anakku otomatis mengucapkan kata Ya-ma, dengan nada seperti mengeja. Awalnya kupikir dia hanya hendak menyebutkan nama tokoh tersebut. Tapi, tak lama kemudian, seperti biasa muncul iklan ditengah-tengah tayangan. Saat sedang iklan, biasanya akan muncul kolom untuk melewati iklan tersebut. Dan lagi anakku mengucap kata le-wa-ti yang tertera pada kolom tersebut, masih dengan nada mengeja. Disitulah aku mulai yakin bahwa anakku bisa baca.
Sejak moment itu, sesekali aku coba iseng meminta anakku membaca tulisan di buku bacaan miliknya untuk sekadar memvalidasi dugaanku. Namun, sayang sekali, anakku menolak keras. Dia malah teriak dan marah. Baiklah, aku mengalah untuk tak lagi memintanya membaca, hingga suatu hari aku memergoki dia sedang asyik membaca buku bacaannya. Aku coba memerhatikannya dari dekat. Ternyata benar, anak balitaku memang sudah bisa membaca suku kata diusianya yang belum empat tahun. Masya Allah Tabarakallah.
Awalnya, anakku selalu menolak, jika aku memintanya untuk membaca, tapi lama-lama dia malah yang mengajakku untuk menemaninya membaca buku. Kebetulan ayahnya pernah membelikan buku bacalah 1 (buku latihan membaca) di tempat fotokopi. Buku yang semula tak pernah disentuhnya sama sekali karena memang menurutnya tidak menarik, tak ada gambar di dalamnya, hanya ada barisan huruf saja.
Berbeda dengan sekarang, buku bacalah 1 sudah seperti sahabatnya. Seringkali dia mengajakku untuk membacanya bersama secara bergantian, hingga kini perlahan dia mulai lancar membaca, khususnya untuk buku bacalah 1. Sebagai orang tua, aku ikut semangat mendukungnya belajar membaca dengan meminta ayahnya membelikan buku bacalah 2 dan 3 (wkwkwk).
Jujur, aku nggak tahu sejak kapan anakku bisa baca. Aku juga belum mengajarinya membaca secara langsung sebelumnya, karena menurutku memang belum waktunya. Namun, jika sekadar mengenalkan alfabet dan buku pada anak dengan harapan agar kelak dia senang membaca, memang sudah kulakukan sejak anakku masih bayi, bahkan mungkin sejak dalam kandungan pun sudah kuajak dia membaca buku. Kebetulan aku juga suka baca buku (hihihi). Tapi, aku nggak sampai berpikir dan begitu yakin bahwa apa yang kulakukan itu, dapat merangsangnya untuk mampu membaca lebih dini.
Seiring berjalannya waktu, anak balitaku kini sudah mulai lancar membaca. Buku bacalah 2 yang berisi kalimat-kalimat panjang sudah bisa dibacanya semua, bahkan dia sudah bisa membaca buku bacaannya sendiri. Masya Allah Tabarakallah, dan lagi aku hanya bisa bersyukur setiap hari. Saat masuk sekolah nanti, dia sudah bisa membaca.
Tiba-tiba aku jadi ingat masa kecilku. Aku sekolah TK selama setahun, dan saat masuk TK pun aku sudah bisa membaca, sama seperti anak balitaku sekarang. Kurasa, tentunya hal ini bukan semata-mata karena sebuah keajaiban, atau mungkin karena anaknya jenius, melainkan karena sebuah kebiasaan yang ditanamkan.
Kebiasaan Membaca Buku Sejak Kecil
Aku sama seperti anakku yang punya kebiasaan baca buku sejak kecil. Bedanya hanya pada jenis buku bacaannya saja. Aku punya kakak perempuan yang usianya beda empat tahun denganku. Setiap pulang sekolah, kakakku tak jarang membeli komik yang kusebut komik 'Petruk' karya Tatang. S.
Komik 'Petruk' dengan berbagai judul sudah menumpuk di lemari buku. Entahlah, kakakku menyukai komik tersebut, selain harganya yang murah meriah, ceritanya pun memang cukup menghibur, cerita-cerita horor yang dikemas dengan ringan, sehingga tak membuat pembacanya ketakutan, khususnya aku yang kini jadi penikmat cerita horor.
Setiap kali melihat kakakku baca komik 'Petruk', aku juga selalu penasaran dengan ceritanya, tapi aku yang masih balita waktu itu belum bisa membaca. Kadang aku minta kakakku membacakannya, tapi ya gitu deh, kakakku yang baik hati ini begitu malas membacakannya untukku. Akhirnya aku berusaha untuk belajar membaca dengan media yang ada, yaitu komik 'Petruk' ini. Aku nggak begitu ingat pastinya siapa yang mengajariku membaca, kalau nggak salah Bapakku yang lebih telaten dan kurasa lebih sabar mengajariku membaca (wkwkwk).
Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan aku mulai pandai mengeja suku kata. Aku juga mulai masuk sekolah TK yang mana buku bacaanku pun mulai bertambah, tak hanya komik 'Petruk' koleksi kakakku. Di sekolah TK, aku mendapatkan majalah anak yang bisa menjadi media untukku melancarkan kemampuan membaca. Mama juga mulai membelikanku buku bacaan, seperti majalah Bobo dan buku-buku bacaan anak lainnya.
Tak jauh berbeda dengan anak balitaku. Sejak dalam kandungan, aku selalu mengajaknya membaca buku. Setiap kali rebahan saat hamil, aku pasti menyempatkan waktu untuk membaca buku, walau hanya 2 atau 3 lembar saja. Buku yang kubaca juga beragam, bukan buku bacaan anak, melainkan buku-buku koleksiku aja yang mayoritas buku nonfiksi.
Setelah anakku lahir, aku juga mulai mengenalkannya dengan ragam buku anak, mulai dari soft book hingga hard book dengan cerita yang beragam sesuai dengan tahapan usianya. Aku sering mengajaknya membaca buku, meski anakku baru bisa duduk waktu itu. Aku tempatkan dia dipangkuanku, lalu kuajak dia membuka buku bacaan bersama supaya saat aku membaca ceritanya, dia juga bisa melihat gambar serta tulisan dari setiap kalimat yang kubacakan.
Tujuanku mengajaknya membaca buku bersama-sama seperti itu, selain agar anakku bisa mengenal banyak kosakata, aku juga berharap agar dia tahu bentuk penulisan setiap kosakata yang kubaca, dan tentunya dia juga bisa mengerti apa yang kubaca melalui gambar yang ada di buku.
Kebiasaan membaca buku bersama seperti ini selalu kami lakukan setiap hari. Buku yang kami baca pun beragam supaya tak bosan. Dan ternyata anakku lebih suka membaca buku nonfiksi, seperti ensiklopedia anak dibandingkan buku dongeng.
Sebenarnya tujuan awal aku membiasakan anak membaca buku adalah untuk melindunginya dari racun gadget yang menjamur dimasa kini. Cukup tontonan gadget yang dia kenal hanya sebatas nonton youtube di TV. Aku tak mengenalkan smartphone pada anakku sebagai gadget multifungsi, melainkan hanya sebatas alat komunikasi jarak jauh.
Namun, siapa sangka dari kebiasaan tersebut aku dapat bonus, yaitu anak balitaku ini memiliki kemampuan membaca lebih dini. Alhamdulillah. Masya Allah Tabarakallah. Sebenarnya aku ragu sih, apakah kebiasaan seperti yang kulakukan ini, memang efektif membuat anak balita mampu membaca atau memang ada faktor pendukung lainnya. Mengingat setiap anak memiliki cara unik dalam proses belajarnya masing-masing yang tak bisa dipukul rata. Begitu pun anak balitaku yang juga senang belajar sambil bernyanyi, dengan lagu dan musik. Tak jarang aku membacakan cerita untuknya menggunakan nada-nada random ala-ala aku (wkwkwk).
Setiap anak itu unik. Sebagai orang tua hanya bertugas untuk membimbing, mendukung dan membersamai setiap proses belajarnya, tanpa banyak menuntut ini dan itu. Terkadang kita sebagai orang tua terlalu banyak menaruh ekspektasi pada anak, apalagi hidup di zaman media sosial seperti ini.
Selalu ingat bahwa anakku bukan anak mereka, anakku tak mesti seperti anak mereka. Anakku punya caranya sendiri dalam berproses. Biarkan dia tumbuh dan berkembang dengan caranya. Itu yang selalu kuucapkan dalam hati. Terima kasih sudah membaca diaryku.
Sumber:
Foto Komik : By Lazada
Foto Buku Bacalah : By Shopee

Komentar
Posting Komentar