Assalamu'alaikum Diaris.
Beberapa bulan yang lalu. Suatu sore, sekitar jam setengah lima. Seperti biasa, sebelum pulang kerja, suamiku mengirim pesan whatsapp untuk sekadar bertanya, "nanti malam mau makan apa?", atau "mau nitip apa?". Sore itu aku nggak masak, kebetulan bahan makanan sudah habis, belum belanja. Ditambah lagi, aku juga sibuk seharian menemani si anak balita bermain.
Selain mengirim pesan berupa pertanyaan tadi, suamiku juga mengabari bahwa dirinya sedang berada di KRL menuju pulang ke Bogor. Mendengar kabar itu, senang hati rasanya emak-emak nih karena biasanya suamiku baru jalan pulang saat bakda Magrib, lalu tiba di rumah sekitar jam setengah sembilan malam.
Alhamdulillaah, tapi kujawab pesannya dengan kata 'tumben'. Agak kurang sopan sedikit, hehehe. Untungnya suamiku cuek bebek, nggak peduli sopan atau nggak sopan, dia hanya lanjut membalas pesan dengan cerita bahwa dirinya baru pulang takziyah. Seorang teman kerjanya baru saja meninggal dunia pagi tadi.
Innalillaahi wa innailaihi roji'uun. Deg. Kaget juga aku. Teman yang mana?. Sebenarnya aku nggak kenal teman kerja suamiku, tapi berhubung dia kerja dengan sistem hybrid, WFO dan WFH, aku sering dengar samar-samar percakapan suamiku dengan teman-teman kerjanya saat meeting online di rumah, ditambah lagi dia juga suka cerita masalah pekerjaan, berikut teman-teman kerjanya. So, aku sedikit tahulah ya.
Meski nggak kenal, tapi aku penasaran dan bertanya, "siapa?". Kemudian suamiku menyebut nama salah satu teman kerjanya yang meninggal dunia itu. Namanya nggak asing di telingaku, bahkan seingatku kemarin suamiku masih meeting online dengannya. Aku semakin penasaran, tapi nggak kulanjut bertanya via chat. Nanti aja dilanjut jika sudah sampai di rumah.
Sekitar jam 6 sore. Pas banget, aku lagi shalat Magrib. Suamiku tiba di rumah. Aku selesaikan shalat, lalu kubuka pintu. Suamiku masuk ke rumah, lalu merapikan barang-barangnya dan bersiap untuk mandi. Selesai mandi, shalat, seperti biasa kami lanjut makan malam. Aku yang masih penasaran langsung membuka obrolan, melanjutkan pertanyaan yang terputus dichat tadi.
Suamiku bercerita bahwa teman kerjanya ini bisa dibilang meninggal dunia secara mendadak. Namun, yang menjadi perhatianku adalah almarhum ini meninggalkan satu istri dan tiga orang anak yang masih kecil. Duh, gimana itu perasaan anak-anaknya, aku aja yang udah dewasa gini ditinggal pergi Mama untuk selamanya secara tiba-tiba, rasanya dunia mau runtuh. Pun aku membayangkan istrinya, ambruk pasti rasanya. Tiba-tiba kehilangan sebelah hatinya, ditambah lagi harus mengambil alih peran suaminya, menjadi ayah juga sekaligus ibu bagi anak-anaknya.
Seorang istri harus mengambil alih tugas mencari nafkah untuk mempertahankan kondisi ekonomi keluarganya. Jika sebelumnya si istri adalah seorang ibu bekerja, itu cukup membantu. Berbeda dengan ibu rumah tangga yang tak punya penghasilan. Dia perlu segera mengambil keputusan dalam situasi tersebut, lalu memulai sesuatu agar ekonomi keluarga tetap aman, khususnya untuk biaya makan dan sekolah anak-anak.
Perempuan Berdaya Bukan Sekadar Berpenghasilan
Aku jadi ingat postingan utas yang sering berseliweran di beranda akun Threads milikku beberapa hari lalu yang membahas tentang pentingnya menjadi perempuan berdaya.
Aku coba browsing di internet apa yang dimaksud dengan perempuan berdaya. Ternyata penjelasannya cukup panjang kali lebar ya. Namun, jika diperhatikan dari komentar-komentar netizen pada utas tersebut, point utama dari perempuan berdaya yang dibahas di sana adalah perempuan yang mandiri, tidak ketergantungan pada orang lain maupun pasangan (jika sudah menikah), khususnya dalam urusan finansial.
Penting bagi seorang perempuan untuk mampu berpenghasilan sendiri. Apalagi perempuan yang sudah menikah, sebagai antisipasi bilamana menghadapi masalah ekonomi dalam rumah tangga, misalnya tiba-tiba sumber penghasilan suami mengalami masalah, entah itu karena PHK, atau seperti yang terjadi pada salah satu teman suamiku ini, atau bahkan masalah KDRT yang tak kalah sering menjadi faktor mencuatnya pernyataan pentingnya perempuan berdaya.
Pentingnya perempuan berdaya, sebuah pernyataan yang sering menimbulkan pro dan kontra. Bahkan tak jarang memicu perdebatan diantara para ibu rumah tangga dan para ibu bekerja karena hal ini seringkali dikaitkan dengan kemampuan seorang perempuan dalam memperoleh penghasilan.
Jujur, sebagai seorang ibu rumah tangga, aku setuju dengan pernyataan bahwa perempuan harus berdaya. Perempuan memang harus mampu mandiri, memiliki rasa percaya diri, serta mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, tidak ketergantungan dengan orang lain, yaaa sesuai dengan penjelasan mengenai perempuan berdaya yang kubaca di internet. Dan hal-hal tersebut berlaku dalam segala aspek, bukan hanya aspek ekonomi atau finansial yang sering diperdebatkan saja.
Perempuan berdaya tidak melulu perempuan yang harus berpenghasilan. Meskipun hal itu termasuk salah satunya, dan aku pun setuju dengan itu. Apalagi sebelum menjadi seorang ibu rumah tangga, aku juga seorang perempuan pekerja yang sudah terbiasa memiliki penghasilan sendiri. Ketika beralih profesi menjadi seorang ibu rumah tangga yang lebih sering beraktivitas di rumah, mengasuh anak balita, tanpa penghasilan sendiri, hanya mengandalkan nafkah dari suami. Rasanya tuh beda, seperti ada yang hilang. Iya, penghasilanku yang hilang, hehehe.
Menjaga Keseimbangan Diri
Selalu terbersit dalam benak keinginan untuk kembali bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Beda aja gitu kan jika punya uang hasil kerja sendiri. Selain itu, bisa juga dijadikan sebagai tambahan dana darurat untuk kebutuhan mendesak lainnya. Namun, kondisinya sudah berbeda. Aku bukan lagi seseorang dengan label single seperti dulu. Aku memiliki anak balita yang masih butuh pengasuhan, serta perhatian dari orang tuanya, salah satunya aku sebagai ibunya yang merupakan madrasah pertama bagi anak.
Mau nggak mau, aku harus mengabaikan keinginanku untuk bekerja karena situasinya yang tidak memungkinkan. Meskipun jujur saja, jika diminta untuk memilih menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, kurasa aku ingin memilih menjadi ibu bekerja saja (hihihi). Selain bisa punya penghasilan sendiri, setidaknya aku juga bisa merasakan suasana lain, berinteraksi dan bertukar pikiran dengan orang lain di luar sana, serta melakukan hal yang berbeda setiap harinya.
Walaupun dasarnya aku anak rumahan, tapi rasanya jenuh juga jika berhari-hari hanya mengerjakan aktivitas rumahan yang monoton. Belum lagi harus menghadapi tantrumnya anak balita yang cukup menguras energi. Namun, sebanyak apapun energi yang terkuras, faktanya si anak balita inilah yang menjadi alasan terbesarku untuk resign dari pekerjaanku sebelumnya, lalu beralih profesi menjadi ibu rumah tangga dan membersamainya setiap hari dimasa tumbuh kembangnya.
Seharusnya menjadi ibu rumah tangga tak membuat jenuh karena sebenarnya pekerjaanya tuh jarang berjeda, ditambah lagi dengan mengasuh anak, yang mana aku harus mencari ide bermain apa yang seru setiap harinya.
Waktu senggang mungkin ada, yaitu saat anak terlelap, itu pun jika pekerjaan rumah lainnya telah selesai dikerjakan. Namun, itu jarang terjadi. Jadi, aku hanya memperhatikan sinyal tubuhku. Jika dirasa sudah lelah, meski masih ada pekerjaan rumah yang belum dikerjakan, pasti akan kuabaikan, dan memilih untuk rehat dengan melakukan hal-hal yang kuanggap menyenangkan.
Alhamdulillah, suamiku tidak menganut budaya patriarki. Kami mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama-sama. Seringkali dia mengambil alih pekerjaan rumah ketika WFH, dan juga ikut serta mengasuh anak disela-sela kesibukannya mencari nafkah. Dia tak pernah mempermasalahkan apapun, sekalipun saat aku meminta waktu sebentar untuk mengikuti kegiatan belajar tahsin di sebuah Rumah Quran dekat rumah setiap Jum'at pagi. Dia mengambil alih mengasuh anak sebelum mulai bekerja. Disamping untuk belajar memperbaiki bacaan Al-quran, kuharap aku bisa sedikit beraktivitas di luar rumah (selain mengajak anakku bermain di luar rumah) dan berinteraksi yang bermanfaat dengan orang lain, yaitu guru ngajiku.
Alhamdulillah, kegiatan belajar tahsin seminggu sekali ini sedikit mengurangi kejenuhanku dengan aktivitas rumah. Anggaplah seperti proses recharge emosi (hehehe). Meski begitu, tetap saja rasa jenuh itu suka muncul tiba-tiba, hingga kurasa aku harus mencari kesibukan lain di rumah dengan melakukan hobiku yaitu menulis Blog sambil berharap mendapatkan job nulis seperti sebelumnya, ditambah lagi aku juga mencoba berjualan online dengan sistem dropshiper yang hanya cukup dengan posting-posting produk saja di media sosial tanpa perlu sibuk mengurusi stok produk. Ceritanya, aku juga ingin mencoba menjadi ibu rumah tangga yang berpenghasilan.
Awalnya, kupikir hal ini akan mudah dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga sambil mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah, tapi faktanya tak jarang aku mengabaikan anakku yang meminta ditemani bermain, aku malah fokus dengan gawai sambil membuat tulisan untuk postingan Blog pribadiku, apalagi saat aku mendapat job dari hobi menulisku, aku jadi lebih fokus menulis draft di gawai karena dikejar deadline sambil dibayang-bayangi feenya, dibandingkan merespon anakku yang mulai teriak-teriak minta ditemani bermain. Tak jarang pula aku main gawai saat menemani anakku bermain hanya untuk sekadar posting produk jualan, atau sekadar merespon pesan masuk dari pembeli. Seringkali anakku merajuk karena hal ini.
Tiba-tiba ada rasa bersalah dalam diriku. Aku jadi ingat alasan utama saat memutuskan resign dari tempat kerja adalah karena ingin mengasuh anakku sendiri. Aku ingin menjadi saksi pertama selama masa tumbuh kembang anakku. Namun, jika seperti ini keadaannya, sama aja aku mengabaikan anakku.
Rasa bersalah ini membuatku melupakan sejenak keinginan menjadi ibu rumah tangga yang berpenghasilan. Lagi pula, untuk saat ini keuangan keluarga kami bisa dikatakan aman. Alhamdulillah, sebuah anugerah dari Allah SWT. Kuanggap ini sebuah karunia dari Allah SWT, melalui rezeki yang dititipkanNya pada suamiku, berupa penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami, sehingga aku bisa lebih fokus menjalankan peranku sebagai ibu, seperti yang kuinginkan. Toh sebentar lagi mungkin anakku pun tak lagi berteriak-teriak minta ditemani bermain karena kelak dia akan memiliki dunianya sendiri. Kenapa tak kumanfaatkan moment-moment yang terasa singkat ini sebaik mungkin.
Ternyata upaya berpenghasilan bagi seorang ibu rumah tangga itu memang tak mudah, apalagi jika masih memiliki anak balita. Akan selalu ada yang harus dikorbankan, tak pernah bisa seimbang. Tak jarang perkara ini membuat dilema para ibu rumah tangga yang ingin berpenghasilan.
Para ibu rumah tangga tak jarang merasa insecure dengan pernyataan perempuan berdaya, hanya karena mereka merasa belum mampu berpenghasilan, ditambah lagi muncul postingan utas yang kurang bertanggungjawab yang akhirnya seringkali memicu perdebatan antara ibu rumah tangga dan ibu bekerja. Padahal perempuan berdaya itu bukan hanya tentang perempuan yang berpenghasilan saja, tapi menurutku adalah perempuan yang mampu memberi manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Perempuan Berdaya Dengan Perannya
Seorang ibu rumah tangga bisa menjadi perempuan berdaya di dalam keluarga dengan kemampuannya mengelola keuangan rumah tangga dengan baik, kemampuannya dalam berperan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, serta kemampuannya dalam berperan sebagai istri yang baik dan mampu menjaga kehormatan suaminya.
Masalah ekonomi bisa dikatakan sebagai point yang krusial dalam rumah tangga. Perlu dikelola bersama-sama dengan sebaik mungkin. Seorang ibu rumah tangga membantu suaminya untuk hal itu. Bagaimana cara membedakan kebutuhan dan keinginan, menyiapkan tabungan anak, dan juga menyiapkan dana darurat sebagai antisipasi bilamana ada kebutuhan tak terduga. Bagiku mengelola keuangan rumah tangga perlu sedikit keahlian (wkwkwk). Percuma, jika seorang ibu rumah tangga yang mampu berpenghasilan, tapi tak bisa mengelola keuangan dengan baik, kurasa dia tetap kelimpungan saat menghadapi masalah ekonomi.
So, bagiku perempuan berdaya itu bukan hanya mereka yang mampu berpenghasilan, melainkan perempuan yang selalu sibuk dengan belajar banyak hal, produktif, selalu memanfaatkan waktu sebaik mungkin sesuai perannya masing-masing.
Mengingat Kematian dan Bersandar Pada Allah Swt
Usahakan selalu sibuk dengan kegiatan yang bermanfaat, meski diwaktu senggang. Apalagi diera media sosial seperti sekarang ini. Gunakan waktu luang sebaik mungkin hingga tak punya jeda untuk menghabiskan waktu dengan scrolling media sosial yang minim manfaat, apalagi sampai terlibat dalam perdebatan dikolom komentar sebuah postingan di media sosial. Jika ada waktu senggang, kurasa tidur lebih bermanfaat dibandingnkan nonton short video di media sosial (wkwkwk).
Belakangan ini aku mulai menutup beberapa akun media sosial yang kuanggap toxic. Toxic dalam artian dimana biasanya aku sering kecanduan scroll-scroll nggak jelas di sana. Entah karena aku merasa mulai menua, atau memang aku mulai mendapat hidayah (hehehe). Akhir-akhir ini aku merasa jadi manusia yang paranoid setiap kali hendak mengetikan tulisan di media sosial. Setiap kali hendak berkomentar, ataupun sekadar membuat postingan, seringkali muncul rasa takut. Takut setiap huruf atau gambar yang kuposting di media sosial menjadi sumber sakitnya orang lain. Aku tak mau membawa sakit hatinya orang lain yang bahkan mungkin aku nggak kenal dengan orang itu. Untuk minta maaf pun rasanya sulit, sebab tak tahu siapa yang telah tersakiti oleh postinganku.
Terkadang manusia melupakan tentang kematian yang sungguh nyata adanya. Manusia juga sering merasa seolah waktunya di dunia ini masih lama. Padahal mati itu pasti, entah kapan dan dimana. Yang pasti, aku nggak mau mati dalam keadaan jari-jariku baru saja memposting tulisan atau gambar yang tidak bermanfaat di media sosial, apalagi sampai menjadi sebab sakitnya orang lain. Aku juga takut mati dalam keadaan lalai.
Oke Diaris. Jadilah perempuan berdaya sesuai perannya masing-masing, perempuan produktif yang selalu menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Jadilah perempuan berdaya yang mampu membawa diri dan pintar menempatkan diri dalam segala situasi, sekalipun situasi sulit seperti yang dialami oleh istri dari salah satu teman suamiku yang baru saja meninggal dunia. Saat ini, dia mungkin harus mengambil keputusan, langkah apa yang harus diambil selanjutnya untuk membuat keluarganya tetap kokoh meski tumpuannya telah hilang.
Namun, ingat, yang paling penting adalah selalu libatkan Allah SWT dalam setiap langkah karena apapun takdir yang menimpamu, semua atas kehendakNya. Dia adalah sebaik-baiknya untuk bersandar. Allah SWT yang menghendaki segala sesuatu terjadi, dan Dia pula yang mampu memberi jalan keluar atas apa yang menimpa hambaNya.
"Allah SWT tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai kemampuanya"
Hidup hanya tentang pengulangan, mengulangi rasa sedih dan bahagia, Hidup hanya tentang menerima apa yang terjadi.
Terima kasih telah membaca diaryku.
Komentar
Posting Komentar