Assalamu'alaykum Diaris.
Awal bulan November 2020 adalah hari dimana aku melangsungkan pernikahan. Pagi itu aroma tanah basah memenuhi indera penciuman. Semalam turun hujan, tidak deras, tapi cukup membuat becek tanah di halaman depan rumah, tempat dimana akad nikah sekaligus resepsi akan dilangsungkan. Dalam hati aku berdo'a semoga hajat kami bisa berjalan dengan lancar, meskipun dalam suasan musim penghujan.
Semua orang di rumahku, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing pagi itu. Aku sendiri sedang sibuk bersiap untuk segera dirias mukaku ini. Aku duduk di depan cermin. Seorang MUA bersama asistennya mulai memoles mukaku. Saat itu perasaanku benar-benar nggak karuan. Campur aduk. Bahagia. Akhirnya aku akan melewati fase menikah dalam hidupku yang sebelumnya sempat kuragukan. Bahkan aku pernah kepikiran untuk tidak menikah.
Selain bahagia, aku juga merasakan ragu dan takut. Takut salah memilih pasangan, aku takut tidak bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik, lebih tepatnya takut tidak bisa menjalankan peran sebagai istri yang baik. Aku ragu dengan pernikahan ini. Sempat juga kepikiran untuk membatalkan pernikahan yang beberapa menit lagi akan berlangsung. Namun, ternyata otakku masih waras, apalagi saat kutahu A Iduy dan keluarga besarnya sudah tiba di lokasi.
Semua keraguan dalam hati kutepis dengan mengingat perjalananku dan A Iduy yang selalu Alloh SWT mudahkan. Hal ini kujadikan sebagai acuan bahwa A Iduy adalah pasangan hidup terbaik yang telah Alloh SWT pilihkan untukku.
Dari dalam kamar, aku mendengar keriuhan di luar sana. Upacara adat menjelang prosesi akad nikah sedang berlangsung. Diiringan irama degupan jantung yang makin tak karuan, aku mendengar setiap tahapan-tahapannya hingga tibalah prosesi akad nikah itu. Akiu mendengar A Iduy mengucap ijab qabul dengan tenang dan lancar. Alhamdulillaah, detik itu aku telah sah menjadi seorang istri.
Aku berjalan menuju tempat acara dilangsungkan ditemani oleh kakakku. Saat itu aku bingung berekspresi. Perasaanku terlalu didominasi oleh keinginan untuk menangis terharu, tapi aku menghargai kerja keras MUA yang telah memoles mukaku ini (takut makeup luntur), meskipun pada akhirnya tangisku pun pecah. Apalagi saat aku mulai sungkem dan bertatap muka dengan kedua orang tuaku. Air mataku terjun bebas menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah menjaga dan mendidikku hingga aku berada di fase ini.
Selamat datang di kehidupan baru. Kehidupan yang sesungguhnya, dimana kedewasaan dituntut sepenuhnya. Dan lagi aku mengingat semua pertolongan Alloh SWT dalam setiap prosesku menuju titik ini. Sekarang, bukan waktunya meragukan apa yang telah kupilih, melainkan kini waktunya menjalani kehidupan baruku.
Baca juga: PERSIAPAN MENIKAH DITENGAH PANDEMI COVID-19
Menikah adalah sebuah pilihan yang menakutkan bagiku, mengingat minimnya pengetahuanku tentang dunia pernikahan. Apalagi setelah kutahu beberapa teman seangkatan yang dulu sering bertanya "kapan nyusul" padaku yang masih jomlo waktu dulu, sedangkan mereka sudah lebih dulu menikah, lalu mereka datang ke pernikahanku dengan status sebagai single parent diusia pernikahan yang bisa dikatakan masih muda. Makin ngeri saja. Sebenarnya apa sih yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga itu? Apakah memang mengerikan?, tapi tak sedikit pula mereka yang bertahan lama, contohnya kedua orang tuaku.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku tidak punya gambaran yang nyata perihal kehidupan berumah tangga. Aku hanya melihat kehidupan rumah tangga kedua orang tuaku yang selalu tampak baik-baik saja. Rasanya tak pernah kutemukan perdebatan, percekcokan, selain sedikit adu argumen, itu pun hanya dalam perkara yang kuanggap remeh. Kedua orang tuaku pun tak pernah bercerita masalah atau ujian dalam rumah tangganya, baik perihal keuangan, maupun yang lainnya. Hanya saja Bapak sering berpesan agar perempuan diusahakan untuk berdaya, tidak terlalu bergantung sepenuhnya pada suami, intinya punya penghasilan. Bapak bicara seperti itu karena zaman sekarang tak sedikit laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Orang tua mana yang rela anak-anak perempuannya disakiti. Sedangkan Mama selalu berpesan agar aku menjadi istri yang baik, melayani suami dengan ridho dan ikhlas lillahi ta'alaa karena semua aktivitas dalam berumah tangga itu bernilai ibadah, dan jangan pernah menyakiti hati mertua.
Aku tak tahu sehebat apa mereka menyembunyikan masalah rumah tangga dari anak-anaknya sehingga aku berasumsi bahwa pernikahan tak menakutkan. Ditambah lagi aku hidup di tengah gempuran media sosial. Berbagai konten hiburan bermunculan di sana, termasuk konten seputar kehidupan pernikahan yang mana mayoritas dibranding hanya dengan keindahan dan kebahagiaan. Tak jarang mereka para kontener (para pembuat konten) mempublish kegiatan sehari-hari bersama suami dan anak-anaknya yang penuh dengan kebahagiaan, sehingga para audiens sepertiku ini menganggap bahwa pernikahan itu hanya tentang kebahagiaan saja.
Lalu, apa yang terjadi dengan teman-teman yang akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya?.
Aku pernah mendengar seorang psikolog pernikahan berkata bahwa menikah itu bukan untuk bahagia, dan setelah menjalani kehidupan berumah tangga aku baru paham perkataannya. Bukan, bukan berarti aku nggak bahagia dengan pernikahanku. Namun, harus kuakui kebahagiaan yang benar-benar kurasakan itu hanya diawal-awal pernikahan saja. Sebulan pertamalah ya. Sisanya hanya upaya untuk tetap mempertahankan kebahagiaan itu sendiri.
Pernikahan adalah sebuah fase kehidupan yang penuh dengan dinamika. Karenanya, aku belajar banyak hal tentang kehidupan yang sesungguhnya. Meskipun usia pernikahanku masih bisa dikatakan masih sangat muda, tapi tak sedikit pahit-manis yang telah kulalui selama itu. Dan aku bersyukur dipertemukan dengan jodoh yang bisa menjadi partner dalam membina rumah tangga.
Aku jadi paham kenapa perlu kehati-hatian dalam memilih pasangan hidup. Modal rasa cinta saja memang tak cukup untuk membangun rumah tangga. Cinta bisa memudar seiring berjalannya waktu. Maka dari itu, carilah pasangan hidup yang bisa menjadi partner selama menjalani kehidupan berumah tangga, yang mau saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, yang mau sama-sama belajar sehingga visi dan misi untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah warrahmah bisa tercapai.
Jangan menikah hanya karena rasa cinta saja, apalagi menikah hanya karena sudah terlalu lama pacaran, atau karena umur yang sudah merasa tak muda. Menikahlah ketika kamu memang merasa sudah siap. Menurutku siap dan tidaknya seseorang untuk menikah itu hanya Alloh SWT yang tahu. Alloh SWT akan mempertemukan dengan jodoh diwaktu yang tepat. Maka dari itu, selalu libatkan Alloh SWT dalam proses menemukan pasangan hidup karena Dia-lah yang Maha Tahu mana yang terbaik untuk hambaNya.
Baiklah, Diaris. Kurasa diary kali ini cukup sampai disini ya. Semoga menghibur dan bermanfaat. Terima kasih telah membaca ceritaku.
Komentar
Posting Komentar