Assalamu'alaykum Diaris.
Sekitar Bulan Mei 2020 aku sudah resmi dikhitbah, tapi aku dan calon suami yang tiada lain adalah A iduy kakak kelas SMA-ku ini belum menentukan tanggal pernikahan. Aturan pembatasan sosial untuk pencegahan penyebaran covid-19 menjadi salah satu kendalanya. Kami masih bingung kapan akan melangsungkan pernikahan.
Beberapa orang dari keluarga kami menyarankan agar melakukan akad nikah terlebih dahulu, setelah itu (tepatnya sih setelah Covid 19 mereda kali ya, tapi entah kapan?) barulah melaksanakan resepsinya. Namun, aku nggak sependapat. Jika memang seperti itu konsepnya, aku malah lebih memilih untuk hanya melakukan akad saja tanpa perlu mengadakan resepsi. Kupikir lebih hemat, uang tabungan kami pun tak perlu keluar banyak, bisa kami gunakan untuk membeli kebutuhan lain, rumah misalnya. Hehehe.
Akan tetapi lain lagi dengan pikiran orang tua kami yang pastinya ingin memiliki kesan lain saat menikahkan anak terakhir mereka masing-masing. Belum lagi orang tuaku malah kepikiran takut tetangga mengira aku MBA (Married by Accident) jika seandainya pernikahan kami diadakan sederhana tanpa mengundang orang lain, na'udzubillaah. Ada-ada aja.
Baiklah, aku dan A Iduy memutuskan untuk melangsungkan pernikahan dengan sedikit meriah (meriah ala-ala kampung) dan masih dalam level sederhana. Setidaknya kami masih mengundang tetangga, teman, dan beberapa orang yang kami kenal. Lagi pula saat itu masih dalam suasana pandemi yang mana tidak diperbolehkan untuk mengundang kerumunan. Sebenarnya bingung juga sih, tapi berhubung tempat tinggal orang tuaku masih berada di zona hijau (belum terkontaminasi Covid 19, katanya), katanya sih nggak apa-apa ya karena saat itu nggak sedikit pula yang melakukan resepsi pernikahan di sana.
Awalnya kami disarankan untuk melangsungkan pernikahan setelah lebaran Idul Adha. Namun, kami belum banyak persiapan terutama masalah tempat tinggal setelah menikah nanti. Setelah menikah nanti kami berniat untuk mengontrak rumah yang lokasinya tak jauh dari stasiun Bogor untuk memudahkan A Iduy ke tempat kerja yang berada di Jakarta walaupun saat itu masih WFH sih karena pandemi. Sempat kami kepikiran untuk tinggal di Jakarta, tapi mengingat biaya sewa rumah di sana pasti cukup merogoh banyak isi kantong, ditambah lagi aku yang saat itu masih kerja di Kota Hujan, kami pun memutuskan untuk tinggal di Kota Hujan aja.
Baca juga: PERTAMA KALI BERTEMU CALON MERTUA
Sambil menyelam minum air, sambil cari rumah kontrakan sekalian menyiapkan untuk pernikahan nanti, mulai dari menyiapkan berkas-berkas untuk daftar ke KUA, lalu mencari jasa wedding organizer yang cukup membuatku puyeng karena terlalu banyak pendapat dari sana-sini. Akhirnya biar nggak ribet aku pilih jasa WO dari salah satu tetanggaku yang menurutku 'not bad' daripada pusing dengar saran ini-itu, lagi pula waktu itu aku masih sibuk kerja di perantauan dan nggak punya banyak waktu untuk terlalu mengurusi hal-hal remeh perintilan semacam ini.
Biar kata orang menikah adalah momen spesial, sekali seumur hidup yang bagi sebagian orang perlu dirayakan seeksklusif mungkin, istilahnya se-wedding dream mungkin (hahaha, paan sih!). Tapi entah kenapa aku nggak begitu peduli, aku lebih bersemangat menyiapkan segala kebutuhan pasca menikah nanti, seperti mencari tempat tinggal yang nyaman untuk kami setelah menikah nanti, apalagi aku dan A Iduy termasuk tipe manusia rumahan yang lebih senang mendekam di rumah.
Selain puyeng perihal jasa wedding organizer, aku juga diteror A Iduy untuk segera membeli perlengkapan hantaran. Itu loh barang-barang kebutuhan pengantin wanita yang nanti akan dibawa oleh pengantin laki-laki saat hari pernikahan. Nah ini juga hal yang cukup menyebalkan. Jujur, aku agak bingung sih memilih barang-barang apa saja yang harus kubeli untuk hantaran mengingat barang-barang kebutuhanku yang biasa kupakai sehari-hari masih terbilang bagus, belum waktunya beli lagi, misalnya tas, peralatan mandi, makeup, skincare, dsb. Aku malah lebih tertarik beli perabot rumah tangga deh semacam kulkas, mesin cuci, lemari, TV, rak buku, dan lainnya. Hehehe.
Namun, pada akhirnya aku pun berhasil membeli barang-barang untuk hantaran, alakadarnya saja. Sebagian besar aku beli secara online biar lebih praktis. Kukirim langsung ke rumah A Iduy, aku hanya scroll di toko oren, pilih-pilih, checkout, lalu kirim nomor akun virtual ke A Iduy, beres.
Oh iya untuk Mas Kawin aku beli secara offline di toko perhiasan tentunya, ngeri juga kalau beli online. Aku inget banget hari itu aku dan A Iduy berniat untuk survey rumah kontrakan hasil cap-cip-cup di aplikasi OLX sekalian beli Mas Kawin juga. Dasar aku yang emang seperti orang yang nggak niat, tapi dasarnya sih aku tuh cuma nggak mau ribet aja sih. Tak sedikit toko perhiasan di sana, tapi yang kukunjungi hanya satu dan memilih stok perhiasan yang hanya tersedia di sana. Sing penting muat, model sih nomor sekian, sing penting hari itu kelar.
Alhamdulillaah Mas Kawin sudah siap hari itu hanya saja untuk rumah kontrakannya belum berhasil kami survey karena kebetulan salah satu si pemilik kontrakan nggak bisa dihubungi hari itu. So, kami harus mengatur ulang rencana untuk bertemu kembali demi mendapatkan tempat tinggal pasca menikah nanti. Agak ribet sih (menurutku) karena semenjak pandemi kami memang sudah jarang bertemu karena A Iduy WFH, kerja dari rumah orang tuanya di Sukabumi, tapi ya inilah bagian dari skenarioNya yang harus kami jalani.
Ok Diaris sampai disini dulu ya ceritanya. Semoga menghibur. Terima kasih sudah membaca diaryku.
Komentar
Posting Komentar