Assalamu'alaykum Diaris.
Seperti yang sudah kuceritakan di diary-diary sebelumnya bahwa suamiku yang biasa kupanggil A Iduy adalah kakak kelas waktu SMA dulu. Kami satu sekolah tanpa saling kenal satu sama lain. Kami baru berteman dan saling mengenal mulai tahun 2017. Sejak itu kami mulai menjalin pertemanan, dan hanya sekadar berteman, tidak lebih, tak ada yang namanya teman tapi mesra atau hubungan tanpa status.
Sepertinya A Iduy ini adalah satu-satunya teman laki-laki yang mana aku nggak pernah merasa canggung saat ngobrol dengannya. Selalu ada topik yang bisa kami bahas. Ditambah lagi A iduy itu orangnya selalu hayu kalau diajak main. Hehehe. Setiap aku ajak main ke mana, misalnya pernah kuajak dia main ke Galeri Indonesia, Taman Mangrove PIK, Taman Mini, dan masih banyak tempat lainnya, pasti jawabannya selalu 'hayu'.
Sejak tahun 2017 itu kami memang jadi sering bertemu, nggak tiap hari ya, hanya saja dalam sebulan itu pasti kami bertemu, entah itu sekadar makan atau nonton bioskop. Kebetulan dia bekerja di Jakarta dan ngekost di sana. Seminggu sekali, tepatnya Jum'at malam dia akan pulang ke rumahnya di Sukabumi dan kembali ke Jakarta di hari Minggunya. A Iduy ke Jakarta menggunakan KRL dari Bogor. Berhubung aku juga anak kost di Kota Bogor, tak jarang kami pun bertemu dihari Minggu saat ia hendak kembali ke Jakarta. Biasalah anak-anak muda yang gabut, kami jalan-jalan di mall.
Jujur. Aku senang bisa kenal sama A Iduy ini karena dia orangnya baik, apalagi pas dia mau menemaniku ke lokasi tempat verifikasi dokumen saat aku ikut tes CPNS pertama kalinya. Bahkan dia sampai rela ambil cuti kerja dan juga dalam keadaan nggak enak badan katanya. Sebenarnya aku agak ragu juga sih sama kebaikannya waktu itu karena bagaimana pun juga dia ini laki-laki, takut ada udang dibalik batu, hehehe. Maaf ya A Iduy. Namun, aku tetap berusaha untuk berpikir positif bahwa dia memang orang baik, membantuku tanpa pamrih, aku menganggap bahwa akulah yang kegeeran aja berpikir bahwa A Iduy suka sama aku. Hahaha.
Ditahun 2018 pertemanan kami masih sama, awet, meski terkadang ada sedikit konflik tipis-tipis. Namanya juga berteman kan pasti ada perselisihan, biasanya sih gara-gara sisi menyebalkan dia kumat. Namun, hal itu tak membuat kami sampai bermusuhan, paling hanya lost contact untuk sementara waktu. Biasanya aku sih yang menghilang karena kesal aja, hahaha.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, sampai tiba disuatu moment chatting A Iduy mengajak aku menikah. Responku saat itu sih biasa aja. Nggak ada gejolak rasa apa-apa dalam hati, aku menganggapnya sebagai candaan. Lagi pula saat itu aku belum ada keinginan untuk menikah. Untuk menjawab ajakannya, aku malah mengajaknya untuk menabung terlebih dahulu. Kalau sudah punya tabungan kan enak, bisa lebih siap dalam segi finansialnya, perihal dengan siapa menikahnya nanti itu biarkan Alloh Swt yang mengatur. Sekalian belajar dulu memahami pernikahan itu seperti apa sambil menunggu tabungan terkumpul. Pokoknya jawabanku waktu itu sok bijak banget deh.
Untuk hari-hari berikutnya kami lalui seperti biasanya, tak ada yang berubah dari pertemanan kami. Masih sama, dan selalu baik-baik saja hingga ajakan untuk menikah pun diucapkannya kembali bahkan A Iduy ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Ya ampuuuuunnn.. kali ini aku agak deg-degan sih karena bingung. Saat itu usiaku sudah 24 tahun dan aku memang punya rencana ingin menikah saat usiaku 25 tahun, jika ada jodohnya.
Oh iya A Iduy juga bertanya perihal berapa biaya untuk menikah yang kujawab dengan asal-asalan, lima puluh atau seratus juta. Aku jawab begitu supaya dia pusing karena kupikir saat itu tabungan dia belum mencapai nominal seratus juta dan aku berharap dia tak terus menerus mengajakku menikah. Dan lagi aku nggak menjawab iya atau tidak, aku hanya berusaha mengalihkan pembicaraan pada topik lain.
Sebenarnya nggak hanya dua kali ajakan menikah itu diutarakannya, sudah ada beberapa kali disinggungnya dalam moment chattingan, tapi ya gitu aku selalu mengalihkan pembicaraan. Namun, untuk ajakan yang ini aku mulai sedikit meresponnya. Betul, secara langsung aku mengacuhkannya, tapi dalam diam aku meresponnya dengan mencoba shalat istikhoroh minta petunjuk dari Alloh Swt. Yang Maha Tahu mana yang terbaik bagi hambaNya. Ditambah lagi, saat itu aku juga sedang dekat dengan teman laki-laki lain yang juga pernah mengajakku menikah.
Shalat istikhoroh ini kulakukan tak hanya sekali, melainkan berkali-kali hingga petunjuk itu datang. Dalam shalat aku meminta kepada Alloh Swt. untuk diberikan petunjuk seperti apa jodohku, dan aku juga meminta untuk dimudahkan jalan untuk bertemu jodoh terbaik untukku.
Baca juga: Cara Alloh Swt. Memberiku Jodoh (Part 4)
Awalnya kukira petunjuk itu akan datang lewat mimpi, tapi ternyata nggak gitu konsepnya, hehehe. Setelah melakukan shalat istikhoroh, tak banyak perubahan yang terjadi antara aku dan A Iduy, bahkan aku merasa belum ada petunjuk apa pun, hehehe. Hubungan kami masih sama seperti sebelumnya, masih berteman baik, tak ada yang berubah, juga tak ada ajakan menikah lagi, masih suka bertemu, masih membayar makanan dan tiket nonton bioskop masing-masing, hihihi.
Hingga masuk tahun 2019. Bukannya mendapat petunjuk tentang jodoh, aku malah merasakan hal itu (lagi). Entah keberapa kalinya. Hari itu batinku kembali terusik oleh yang namanya kematian. Sebenarnya aku sangat bersyukur ketika Alloh Swt. mengingatkanku tentang kematian dengan beragam caraNya, salah satunya melalui sebuah perasaan gusar yang merayap dalam hati. Sering kali aku merasakan hal seperti itu, ketika tiba-tiba aku terbangun dari tidur, lalu menyadari bahwa semua mahluk hidup akan mati. Kala itu hatiku terasa sedih, ingin menangis karena dosa, apalagi mengingat aku masih berada di tempat yang menurutku kurang tepat.
Sebenarnya aku nggak mau membahas hal ini karena menurutku ini terlalu sensitif. Tapi hal ini termasuk dalam bagian cerita. Jadi, sebelum menikah aku adalah seorang bankir, kerja di sebuah bank yang notabene produk utamanya adalah menawarkan kredit. Memang tak bisa dipungkiri bahwa yang namanya kredit dimasa kini sulit terlepas dari yang namanya praktik riba, misalnya penetapan bunga, denda, dan penalti. Mungkin tak sedikit orang yang mendebat bahwa hal ini bukan riba selama debitur dan kreditur saling menerima, tapi selama aku belajar dan mencoba ingin tahu, hal ini malah membuatku semakin gusar. Aku semakin takut jika suatu hari aku meninggal dunia dalam keadaan masih terlibat sebagai penikmat, pencatat atau saksi dalam praktik tersebut. Sudah beberapa kali aku mencoba mencari pekerjaan lain, tapi masih gagal, belum rezekinya. Sedangkan untuk keluar dari sana, aku belum mampu karena posisiku saat itu pun bisa dikatakan sebagai tulang punggung yang ikut membantu perekonomian keluarga, meski nggak tulang punggung banget ya. Apa sih, wakakak.
Oke. Ini hanya sebatas pikiran dan apa yang aku rasa dalam batinku saja. Aku juga masih belajar dalam memahami hal ini. Jadi, aku nggak mau membahas hal ini terlalu jauh, aku hanya ingin menjelaskan bahwa hal ini yang membuat batinku tak tenang hari itu, tak tenang seharian. Setiap kali rasa itu datang biasanya aku akan mampir ke tempat favoritku yaitu sebuah mesjid yang berada di samping Mall Botani Square, Masjid Alumni IPB. Jauh sih dari tempat kostku, tapi aku menyukainya. Selain di sana sering mengadakan kajian, aku juga bisa melipir dulu ke toko buku di Mall Botani Square saat pulang dari mesjid nanti.
Nah hari itu pun sama. Sepulang kerja aku pergi ke mesjid itu dan ikut melaksanakan shalat maghrib di sana. Kebetulan bakda maghrib ada kajian yang membahas tentang keimanan. Aku berharap semoga keimananku recharge kembali. Ditengah mendengarkan kajian, aku iseng membuka gawai, dan di sana terdapat tiga pesan dari A Iduy. Aku membuka dan membaca pesan itu.
Jeng... jeng.. jeng... aku lupa seperti apa persis kalimat dalam pesan itu, intinya A Iduy kembali mengajakku menikah dan dia juga bilang kalau dia sudah cerita kepada keluarganya akan hal ini. Deg! Aku bingung menjawabnya. Aku juga bertanya-tanya apakah ini jawaban yang Alloh Swt. berikan. Sebelum menjawab pesan itu, aku menarik napas panjang dan berpikir sejenak, lalu mengetik sebuah kalimat yang menyatakan bahwa aku menerima ajakannya dan mengiyakan untuk mengajaknya bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku memang belum yakin dengan jawabanku ini, tapi aku berharap semoga dengan mempertemukan A Iduy dengan kedua orang tuaku bisa menjadi jawaban yang lebih meyakinkan. Biarkan orang tuaku ikut menilai seperti apa karakter calon menantunya nanti. Setelah shalat isya aku pun bergegas pulang ke tempat kost dengan perasaan nano-nano, setidaknya hatiku sedikit tenang. Memang benar ya, mesjid itu tempat yang menenangkan.
Ceritanya aku lanjut di diary selanjutnya ya Diaris. Terima kasih telah membaca ceritaku.
Komentar
Posting Komentar