Assalamu'alaykum Diaris.
Kemarin aku baru aja selesai baca novel karya Tere Liye serial aksi yang berjudul Tanah Para Bandit. Seru banget apalagi tokoh utamanya itu seorang mahasiswi unik yang nggak terdaftar di fakultas atau jurusan mana pun. Wah maksudnya gimana nih? Baca aja sendiri ya, hehe. Aku nggak akan bahas tentang novel tersebut, tapi setelah baca novelnya aku merasa teringat kembali masa-masa menjadi mahasiswi dulu, tinggal di tempat kost dengan segala suka dukanya.
Sejak SMA aku memang sudah tinggal jauh dari orang tua karena alasan pendidikan, aku tinggal bersama kakek dan nenekku yang karenanya aku nggak terlalu begitu mengkhawatirkan keadaan karena masih tinggal bersama keluarga. Berbeda dengan saat aku duduk dibangku kuliah yang juga mengharuskanku tinggal makin jauh dari orang tua. Bedanya karena aku tinggal seorang diri di sebuah tempat kost. Kadang ada rasa nggak nyangka juga sih aku bisa melakukannya. Secara aku tuh bisa dibilang manusia yang sangat jauh dari kata mandiri karena dulu waktu masih tinggal bareng orang tua, Mama selalu melayani hampir semua kebutuhanku. Dikit-dikit "sini sama Mama" aja. Jarang sekali aku mengerjakan pekerjaan rumah, paling hanya sekadar cuci piring (itu pun piring bekas aku makan), sama nyetrika baju yang menurutku pekerjaan rumah paling ekstrim, hehehe.
Saat aku tinggal sendiri di tempat kost, mau nggak mau aku harus bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Untuk urusan makan sih aku bisa beli ya karena aku nggak bisa masak kecuali masak air, mie instan, dan telor dadar (aku nggak bisa masak telor ceplok waktu itu, tajut sama bunyi dan letupan-letuoan manjanya). Kalau masak nasi sih bisa pakai rice cooker. Untuk nyuci baju ini yang agak rempong, aku nggak bisa nyuci baju, mau bawa ke laundry nggak punya duit juga. Alhasil itu baju kotor cuma aku rendam (kadang seharian, kalau lagi males) lalu langsung kubilas aja.
Hidup seorang diri di perantauan seru juga ya meski aku hanya seorang mahasiswi yang mana urusan keuanganku masih disubsidi sama orang tua. Namun, bukan berarti aku nggak perlu pusing memikirkan masalah uang justru hal ini juga yang menjadi salah satu masalah krusial buatku saat itu. Aku bukan manusia yang terlahir dari keluarga yang bergelimang harta, tapi juga bukan dari keluarga yang kekurangan. Selama tinggal bersama orang tua hidupku selalu tercukupi dalam segala kebutuhannya. Pun saat aku mulai tinggal jauh dari orang tua, berada di perantauan, orang tuaku pun selalu berusaha mencukupi kebutuhan hidupku.
Setiap bulan aku selalu dikirimi uang dengan nominal yang diharapkan sih bisa memenuhi semua kebutuhan hidupku di perantauan, tapi faktanya tak sedikit pengeluaran tak terduga bermunculan setiap harinya, kebanyakan sih pengeluaran yang berhubungan dengan aktivitas di kampus, seperti beli buku, fotocopy, biaya ke warnet (laptopnya masih dipakai kakakku waktu itu), dan sebagainya, tak jarang aku harus memangkas uang makan. Belum lagi kebutuhan printilan lainnya, seperti yang tiba-tiba sprei semata wayangku (bekas kakakku ngekost) robek yang kalau setiap bangun tidur robekannya bertambah lebar karena memang sudah lama dan kainnya sudah lapuk. Aku sempat bilang ke Mama masalah ini, berharap Mama membelikanku sprei baru. Namun, alih-alih membelikanku sprei baru, Mama lebih memilih mengirimkan sprei king size miliknya yang saat aku aplikasikan pada kasur ukuran singleku itu bentukannya jadi nggak beraturan. Aku nggak ngerti kenapa itu sprei panjangnya nggak merata, kasurku hanya tertutupi bagian tengahnya saja bahkan setelah dibolak-balik pun posisinya tetap sama. Coba Diaris bayangkan makanan lemper, itu loh ketan yang dibungkus daun pisang, tampilannya mirip seperti itu.
Kadang sedih juga sih aku waktu itu, tapi aku nggak bisa merengek maksa minta dibelikan sprei baru, mungkin orang tuaku lagi nggak ada uang, makanya Mama lebih memilih mengirimkan sprei miliknya dibanding beli yang baru. Selain itu, aku juga baru menyadari bahwa aku membutuhkan kemeja putih dan rok hitam tambahan untuk dipakai saat UAS atau UTS selama seminggu. Kebetulan aku hanya punya satu kemeja putih, aku beli saat ospek, dan satu rok hitam yang mana itu juga hibahan dari kakakku.
Selama kuliah aku merasa miskin, wakakak, jika dibandingkan dengan mahasiswi lain yang penampilannya bisa dibilang fashionable, pakaiannya bagus-bagus, sedangkan pakaianku bisa dihitung jari dengan diantaranya merupakan hibahan dari kakakku, pun dengan hijab yang kupakai kebanyakan itu milik kakakku. Awal masuk kuliah aku belum berhijab, baru dapat hidayah tuh di minggu kedua perkuliahan semester satu (Pernah aku ceritakan juga di diary sebelumnya). Pun dengan tas dan sepatu yang mana aku hanya punya masing-masing satu aja.
Kalau nggak fokus sama tujuan utamaku tinggal di perantauan mungkin aku bisa saja terbawa arus, wkwkwk, apalagi waktu itu lagi ramai-ramainya gawai Blackberry, layar touchscreen sampai android, tapi aku masih setia dengan telepon genggam kesayanganku yaitu Nokia 2600 classic. Namun, sebenarnya hal-hal kayak gini nggak begitu membuat aku sedih dan merasa miskin sih, tapi aku benar-benar merasa miskin itu ketika uang makanku yang sering terpakai untuk keperluan kuliah membuat aku terpaksa mengurangi jatah makanku. Aku harus berpikir bagaimana aku nggak sampai kelaparan di sini. Aku pernah makan nasi dengan keripik pisang yang kubawa dari rumah pasca mudik, pernah juga aku sengaja stok margarin Biru Band buat jaga-jaga kalau nggak bisa beli lauk, bisa makan pakai itu dengan nasi panas. Tapi yang harus wajib stok tuh beras. Sebulan aku bisa menghabiskan beras 10 liter. Salah satu kunci agar aku bisa hemat uang.
Kadang aku iri sama mereka yang dikasih uang makan lebih, biasanya mereka dikasih uang makan dan uang jajan secara terpisah, sedangkan aku uang makan sama dengan uang jajan. Makanya kalau makan harus kenyang biar nggak kepengin jajan, wkwkwk. Boro-boro bisa seperti mereka yang kalau minggu nonton bioskop, atau sekadar ngopi-ngopi cantik sambil nongkrong. Bisa makan enak dan sehat tiga kali sehari aja sudah sangat bersyukur.
Selama kuliah dan tinggal di perantauan aku harus benar-benar bisa mengatur keuangan sebaik-baiknya walau memang seringnya kekurangan, tapi aku nggak bisa minta-minta terus sama orang tua, nggak tega, aku udah terlalu banyak merepotkan mereka. Akhirnya aku berinisiatif untuk menambah pemasukan dengan jualan pulsa. Emang sih keuntungannya nggak seberapa, tapi alhamdulillaah aku nggak perlu memotong uang makanku. Kebutuhan kuliah bisa terbantu dari hasil jualan, aku juga bisa beli sprei baru, pakaian baru, hijab baru, dan sepatu baru, hehehe.
Tinggal di perantauan mengajarkanku banyak hal, khususnya dalam bertahan hidup. Aku juga sangat bersyukur bisa merantau dan tinggal jauh dari orang tua karena itu membuatku terhindar dari sifat ketergantungan dengan orang lain, khususnya orang tua. Coba saja kalau aku tinggal terus-terusan sama orang tua hingga dewasa, kayaknya aku akan menjadi manusia yang lemah deh karena terbiasa hidup dilayani, serba sama Mama.
Setelah lulus kuliah aku begitu semangat untuk mencari uang karena aku nggak mau hidup menyedihkan, apalagi sampai susah makan seperti yang pernah dialami waktu aku kuliah, hehehe. Aku kepingin makan makanan enak dan mengenyangkan. Aku nggak terlalu tertarik menjadi orang kaya dengan mengumpulkan harta benda yang banyak, rumah mewah, mobil mewah, dsb, aku lebih tertarik bisa kulineran, beli makanan atau jajanan yang aku mau, berapa pun harganya, dan bisa jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang aku mau. Satu lagi deh, aku bisa beli buku yang aku mau. Aku suka baca buku.
Alhamdulillaah dua bulan setelah wisuda aku sudah mendapatkan penghasilan sendiri. Seneng banget. Aku bisa membayar uang kost sendiri, mencukupi kebutuhan hidup sendiri, dan juga aku bisa membagi rezeki yang kumiliki dengan orang tuaku, maupun orang lain yang membutuhkan. Aku juga bisa membeli makanan atau jajanan yang aku mau. Aku nggak pernah hitungan dalam urusan makanan mengingat waktu menjadi mahasiswi dulu aku begitu menahan diri untuk membeli makanan yang kumau karena diluar budget. Aku juga bisa merasakan nonton bioskop dengan uangku sendiri yang dulu belum bisa aku rasakan, wkwkwk. Namun, kalau masalah pakaian, sepatu, tas, dsb, aku masih sama. Nggak begitu tertarik membeli banyak-banyak. Pakaianku masih tampak itu-itu saja, tasku juga paling hanya satu dua dipakai hingga rusak, pun dengan sepatu yang hanya satu atau dua.
Seru rasanya bisa punya uang sendiri, aku bisa makan makanan enak. Meski begitu, aku bukan tipe manusia yang doyan menghamburkan uang. Aku masih bisa menabung kok. Tabungan itu sifatnya wajib bagiku sebagai dana darurat atau untuk sebuah keinginan lain.
Namun, yang namanya hidup nggak akan pernah berhenti dari yang namanya masalah. Dulu mungkin masalahnya keterbatasan uang, dan setelah aku bisa punya uang sendiri masalahnya adalah kehadiran seorang teman. Aku suka kulineran, nonton bioskop, atau jalan-jalan ke tempat yang ingin kukunjungi pastinya, tapi aku nggak suka kalau melakukannya seorang diri, sedangkan mentraktir teman untuk menemaniku aku belum sanggup. Awalnya aku punya seorang teman yang punya kesukaan yang sama, biasanya aku mengajak dia untuk diajak nonton bioskop atau hanya sekadar jajan-jajan. Semenjak dia sibuk dengan pekerjaanya, dia jadi sulit untuk diajak jalan-jalan lagi. Sedih deh.
Malas rasanya pergi jalan-jalan seorang diri walaupun tak jarang kulakukan. Aku biasanya jalan-jalan seorang diri itu saat pergi ke toko buku aja, membeli buku-buku yang bagus untuk dibaca, atau hanya sekadar untuk mencium aroma buku baru, sedapnyaaa bauuu. Hehehe.
Sulit emang nyari teman yang sefrekuensi sampai akhirnya aku bertemu dengan dia. Seorang teman yang kini menjadi suamiku. Awal mula kami bertemu sudah diceritakan di diary sebelumnya. Prosesnya agak panjang sampai akhirnya kami bertemu dan pergi main ke Kebun Raya Bogor, hehehe. Waktu pertama kali bertemu kupikir akan canggung ya, tapi ternyata nggak. Semuanya ngalir begitu aja. Aku merasa mendapat sosok pengganti temanku yang dulu.
Setelah pertemuan di Kebun Raya Bogor itu, kami pun jadi sering menghabiskan uang bersama, entah itu untuk makan, nonton bioskop, seringnya sih jalan-jalan ke tempat-tempat yang kuanggap baru. Dan semuanya kami bayar masing-masing, atau gantian, misalnya aku bayar makan, dia bayar nonton, meskipun dia selalu menawarkan diri untuk menraktir.
Banyak tempat wisata yang kami kunjungi, dan semuanya sih atas keinginanku. Aku senang banget sama dia tuh karena selalu mau aja kuajak kesana-kemari tanpa protes. Awalnya aku merasa ada udang dibalik batu seperti manusia normal pada umumnya, tapi saat itu aku nggak peduli sih yang penting saat aku ajak main dia selalu mau, hehehe. Dan sebagai gantinya aku juga mau menemaninya saat dia butuh teman, misalnya kalau dia ngajak main walau sekadar makan di Mall sambil ngobrol.
Pun saat dia memintaku untuk menemaninya pergi ke kondangan salah satu temannya. Agak aneh juga sih yang ini. Dia rela nunggu aku yang terlambat parah sampai ketinggalan kereta dan telat ke kondangan, padahal aku udah minta dia nggak usah nunggu. Aku sempat geer sih apakah dia suka sama aku, tapi aku tepis karena waktu itu aku hanya ingin menikmati hidup aja tanpa harus diwarnai hal-hal rumit seperti itu. hehehe.
Keanehan lain pun terjadi saat aku hendak ikut tes CPNS di Jakarta pertama kalinya. Dia menawarkan diri untuk menemaniku. Dia juga mengambil cuti kerja, dan ternyata dia juga lagi nggak enak badan hari itu, tapi masih sempat menemaniku tes CPNS. Mama mengira hari itu aku pergi sama pacar karena beliau pikir nggak mungkin ada orang yang mau menemani secara suka rela seperti itu. Tapi yang memang kenyataannya kami hanya sebatas teman saat itu.
Seiring berjalannya waktu, semakin sering kami menghabiskan uang bersama, tibalah dimana hari dia mengajakku menikah. Aku yang saat itu masih belum kepikiran untuk menikah mengganggap itu hanya sebuah candaan aja. Aku nggak menolaknya, aku hanya mengajaknya menabung dulu, urusan nikahnya serahkan sama Alloh Swt. nggak tahu kan jodoh kita siapa. Intinya saat itu aku belum kepingin nikah. Kupikir setelah percakapan itu, dia nggak mau lagi kuajak main, padahal aku udah pasrah loh akan kehilangan teman lagi, etapi ternyata dia masih baik, masih sama seperti sebelumnya.
Dan hubungan kami masih berteman, nggak lebih, tidak pula teman tapi mesra. Nggak ada percakapan romantis, isi chat kami kebanyakan curhatan tentang kejenuhan masing-masing biasanya soal pekerjaan. Oke baiklah, sampai sini dulu ya nulisnya. Terima kasih sudah membaca diaryku.
Baca juga: Cara Alloh Swt. Memberiku Jodoh (Part 3)
Komentar
Posting Komentar