Assalamu'alaykum Diaris.
Sebelumnya aku pernah curhat tentang tempat tinggal ternyaman setelah menikah yang tiada lain adalah rumah sendiri, bukan rumah orang tua apalagi mertua, sekali pun hanya sebuah kontrakan, tapi rasanya sangat nyaman. Aku tinggal berdua bersama suami yang kemudian jadi bertiga setelah hadirnya anak kami yang sekarang masih balita dan lagi pinter-pinternya.
Sebelum menikah aku dan suami sepakat untuk tinggal di rumah kontrakan padahal bisa saja tinggal bersama mertua atau orang tuaku karena suamiku kerjanya remote, bisa dimana aja. Tapi, mengingat kami butuh ruang pribadi dan kebebasan, kami pun pilih mengontrak rumah saja meski harus menyisihkan uang untuk bayar kontrakan setiap bulan.
Tinggal di rumah kontrakan mengajarkan kami kamandirian, saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain walaupun ada nggak enaknya juga sih karena nggak ada yang bisa dimintai tolong, apalagi saat anak kami telah lahir. Aku dan suami benar-benar bekerja sama penuh untuk mengasuhnya secara bergantian.
Merasa Sebatang Kara
Anak kami lahir ditengah ramainya covid-19 yang semua orang tak bisa berkativitas bebas di luar rumah. Saat di rumah sakit, aku dan suami yang merupakan orang tua baru meletek ini bisa nggak bisa harus belajar bagaimana cara menggendong dan merawat bayi yang baru lahir walaupun seringnya sih minta bantuan perawat. Sebenarnya ada mertuaku, tapi di rumah karena rumah sakit hanya mengizinkan satu orang sebagai penunggu pasien.
Awalnya Mamaku yang akan membantu merawat bayi saat di rumah, tapi karena tiba-tiba Mama kembali pada Sang Illahi dua minggu sebelum aku lahiran, akhirnya mertuaku yang menggantikan. Seminggu sebelum lahiran, suamiku berencana untuk mengajakku pulang ke rumah orang tuanya alias mertuaku dan berencana akan persalinan di rumah sakit Sukabumi. Asli sih hatiku nolak karena aku sudah nyaman dengan rumah sakit tempatku kontrol, tapi mengingat mertuaku juga sibuk harus menjaga cucunya yang lain, anak kakak iparku, aku berusaha untuk menerima keputusan itu dengan berat hati.
Kalau mengingat itu rasanya sedih deh, aku ngerasa bahwa nggak ada yang peduli dengan perasaanku, biasanya Mama yang selalu ada di pihakku. Aku memang nggak bilang ke suami tentang perasaanku ini karena aku takut dianggap egois, lagi pula dia kepala keluarga yang mungkin berpikir itu jalan yang terbaik menurutnya.
Suamiku menyiapkan semua kebutuhan kami untuk pulang ke rumah mertua. Kami juga sudah membuat surat rujukan pindah rumah sakit dari dokter obgyn. Rencananya kami akan berangkat esok pagi. Sesekali suamiku memastikan apakah aku benar-benar setuju dengan keputusannya, dia pun tampak ragu, mungkin karena melihat aku yang terlihat murung seharian. Sesekali aku juga berkirim pesan dengan kakakku yang sedang berada di rumah duka bersama bapak dan keluarga lainnya. Menjelang HPL aku benar-benar merasa sebatang kara, padahal ada suamiku ya.
Di tengah kegusaran yang melanda, tiba-tiba Bapak menelepon suamiku siang itu. Entah apa yang mereka bicarakan yang pasti setelah suamiku menutup teleponnya, dia bilang bahwa kami nggak jadi pulang ke rumah mertuaku dan memutuskan untuk tetap melakukan persalinan di rumah sakit tempatku kontrol. Hatiku rasanya bahagia mendengarnya. Melihat aku yang nggak murung lagi suamiku bilang, "kalau misal nggak nyaman, kenapa nggak bilang? Aku bakal nyuruh Mama ke sini" begitu katanya. Aku cuma cengar-cengir nggak jelas mendengarnya.
Tanpa ba-bi-bu suamiku langsung menghubungi mertuaku mengabarkan tentang perubahan rencananya dan alhamdulillah mertuaku bersedia. Suamiku bilang, dia mengajakku untuk pulang ke rumah mertua supaya lebih rileks, nggak terbayang-bayang memori tentang Mama selama menjelang persalinan, dan ternyata di dalam lubuk hati kecilnya dia pun takut dianggap egois karena meminta orang tuanya yang juga sibuk merawat keponakannya untuk malah membantunya di rumah.
Setelah melahirkan, aku dan suami dibantu oleh mertuaku, mulai dari mengurus rumah, masak, dan juga merawat bayi, seperti memandikan misalnya. Banyak sekali drama-drama lainnya yang mewarnai selama kami merawat bayi. Sebaik apa pun mertua, rasanya seperti orang lain, tak sebebas minta tolong pada orang tua sendiri, khususnya aku yang memang sulit beradaptasi dengan orang baru. Jangankan mertua, sama nenek sendiri aja aku canggung. Parah sih.
Belajar Merawat Bayi
Mertuaku menemani kami kurang lebih selama 30 hari di rumah karena setelahnya kami pun mudik ke Sukabumi. Kami mengadakan acara syukuran sekaligus aqiqah di sana. Aku benar-benar sedih waktu itu. Beberapa kali bapak berkunjung ke rumah mertuaku untuk melihat kondisi anak, menantu, dan cucunya yang baru lahir. Beliau menggendong bayiku dengan suka cita meski kedua matanya masih tampak sendu karena kurasa beliau masih terluka dengan kepergian istrinya. Ya, kami sama-sama masih berduka hanya saja semuanya kami sembunyikan.
Dua hari setelah acara selesai, kami pun kembali ke perantauan di antar oleh mertuaku karena Bapak harus merawat Nenekku dan juga masih ada keperluan lain terkait kepergian Mama. Sepanjang perjalanan menuju perantauan, perasaanku kembali diliputi kesedihan. Benar kata suamiku. Rumah itu, kontrakan tempat tinggal kami membuat hatiku cukup terluka, tampak bayangan-bayangan Mama di setiap sudut rumah itu, mulai dari dapur hingga teras depan, bahkan sepanjang jalan raya sekitar tempat tinggalku terbayang gera-gerik Mama karena menjelang kepergiannya, kami sering menghabiskan waktu bersama.
Baca juga: Tempat Tinggal Ternyaman Setelah Menikah
Hari itu, mertuaku hanya mengantar kami pulang ke perantauan, lalu kembali ke rumahnya. Beliau berjanji akan mengjenguk kami seminggu sekali dan benar itu dilakukannya. Dalam hati aku merasa senang setiap kali mertuaku datang ke rumah. Maklum ya aku masih newbie sebagai orang tua yang merawat dan mengasuh bayi, sering panik karena belum terbiasa, belum banyak mengerti bahkan sekadar menggendong bayi pun aku belum bisa. Aku dan suami betul-betul masih belajar. Jadwal imunisasi pun selalu dibuat akhir pekan supaya bisa diantar oleh mertuaku. Mertuaku baik. Hingga suatu waktu kalau nggak salah saat bayiku masuk usia 3-4 tahun mengalami suatu kondisi yang mengharuskan aku dan suami pergi ke rumah sakit membawa bayiku tanpa mertua karena bukan akhir pekan. Bisa nggak bisa aku harus belajar menggendong bayi saat bepergian.
Seiring berjalannya waktu, aku dan suami mulai terbiasa dengan kehidupan baru kami, termasuk dalam merawat bayi. Kami mulai menikmatinya, apalagi saat masuk MPASI aku bersemangat untuk membuat menu-menu makanan terbaik untuk bayi kami. Saat bayi kami berusia satu tahun, kami memutuskan untuk pindah rumah karena aku mulai nggak nyaman tinggal di sana dan juga ada beberapa kondisi rumah yang sering membuat kami emosi.
Sejak kami pindah rumah, frekuensi waktu berkunjung mertuaku ke rumah baru kami mulai berkurang, tak selalu seminggu sekali mengingat lokasinya yang memang lebih jauh dibandingkan rumah kontrakan kami, kami kadang merasa kasihan karenanya, ditambah lagi kakak iparku yang baru saja melahirkan anak keduanya yang membuat mertuaku semakin jarang karena sibuk membantu merawat cucunya yang baru lahir. Aku paham itu, tapi nggak apa-apa toh aku dan suami sudah cukup terlatih dan terbiasa dalam merawat anak bayi yang mulai tumbuh dan berkembang.
Tentang Aku dan Mertua
Sebelum menikah, aku memang jarang berinteraksi dengan mertuaku ini yang dulu masih calon mertua. Aku dan suami menikah tanpa melalui pacaran. Kami hanya bermula dari seorang teman. Saat kami berencana menikah barulah aku melakukan pendekatan dengan calon mertua dengan berkunjung ke rumahnya. Kunjungan yang sangat singkat dan padat sambil diburu waktu juga. Aku ngobrol dengan mertua hanya satu-dua kalimat saja. Pun saat kunjungan kedua yang mana waktu itu dalam rangka menjenguk keponakan suamiku yang baru lahir ke dunia. Itu pun kami nggak banyak berbincang-bincang.
Setelah menikah pun kami belum begitu akrab masih berada dalam kecanggungan. Paling hanya bicara alakadarnya saja, bahkan setelah mertua membantuku dan suami selama sebulan merawat bayi pun aku masih canggung saat ingin memulai obrolan, aku takut salah ngomong dan sebagainya. Jadi, kalau ditanya ya jawab, nggak ditanya ya diam. Paling sesekali ikut menimpali saat mertua bercerita. Pernah juga suatu waktu aku ikut mengomentari obrolan mertuaku, setelah mendengar responnya aku merasa bahwa aku baru saja salah ngomong, wakakak. Sejak itu aku benar-benar makin berhati-hati, mending kalau hanya nggak setuju dengan ucapanku, bagaimana kalau misal ucapanku menyinggungnya?. Mamaku pernah berpesan bahwa jangan sekali-kali menyakiti hati mertua karena bagaimana pun dia itu orang lain. Orang tua mungkin bisa lebih mudah memaafkan, tapi belum tentu dengan mertua. Jadi, daripada salah ngomong mending aku bicara seperlunya aja ya. Hehehe.
Seperti yang kuceritakan sebelumnya bahwa mertuaku ini tergolong mertua yang baik meski sesekali pastilah ada yang namanya perbedaan pendapat. Hal itu wajar terjadi layaknya hubungan antar manusia pada umumnya. Di tengah kesibukannya merawat cucunya yang baru lahir alias anak kedua kakak iparku, beliau masih senantiasa berkunjung ke rumah kami untuk menengok cucunya saat ada waktu. Kadang aku merasa kurang ajar, tapi ya gimana kami juga memiliki kesibukan lain di perantauan yang tak bisa lebih sering berkunjung ke sana. Makanya kami selalu berusaha mudik setiap Idul Fitri. Berkunjung ke semua keluarga, keluargaku juga keluarga suamiku.
Aku selalu bahagia setiap kali mertua berkunjung ke rumah karena aku merasa memiliki waktu untukku sendiri, aku bisa fokus merawat diriku, menguapkan emosi-emosi negatif dalam diri dengan melakukan hobiku, tiada lain membaca dan menulis. Anggaplah seperti ngecharge baterai ya, meski kalau sedang nulis blog aku terlihat seperti sedang main hape sepanjang hari. Aku memang lebih sering membuat draft pakai hape, lebih praktis dibandingkan nulis di laptop yang pasti mengundang kekepoan anak balitaku. Nulis di hape pun tak jarang kena komentar anak balitaku yang sudah mulai pandai komplain, wakakak.
Nggak hanya saat ada mertua saja sih, akhir pekan memang kubuat sebagai waktu pribadi untukku melakukan hal-hal yang kusuka yaitu menulis blog ini. Suamiku bertugas mengasuh anak balita kami saat aku sedang melakukan hobiku. Berhubung kami tinggal bertiga, kami sudah terbiasa bergantian peran saat di rumah. Melihat suamiku masak, nyuci, nyetrika, nyapu, ngepel, belanja, dan ngasuh anak, disela-sela waktu kerjanya itu sudah menjadi hal biasa. Suamiku punya pemahaman bahwa berumah tangga itu melakukan segala sesuatunya bersama-sama, meski mungkin hal ini tidak disepakati oleh mereka yang menganut patriarki.
Mertuaku bisa dikatakan tipe orang tua yang menganut patriarki, sama seperti orang tuaku juga yang berpikir bahwa tugas laki-laki hanyalah fokus mencari nafkah, tidak dengan yang lain-lainnya. Hal ini pernah diungkapkqn mertuaku saat aku baru saja melahirka. Waktu itu aku agak jengkel melihat suamiku tidur nyenyak sepulang dari rumah sakit pasca aku persalinan. Saat itu mertuaku berkomentar, "nggak apa-apa, kasihan, biar besok bisa fokus cari uang," begitulah kira-kira ucapannya. Padahal suamiku kerja remote di rumah pikirku. Tadinya aku kepingin kami gantian begadang menemani bayi yang terjaga, aku merasa benar-benar kelelahan karena kurang tidur, bahkan pernah nggak tidur sama sekali seharian sampai berujung ASIku seret dan aku kena baby blues, dan bayiku harus fototherapi. Memang ada mertuaku yang menemani, tapi seperti yang kubilang rasanya nggak sebebas ke orang tua sendiri, ditambah lagi aku juga melihat beliau sepertinya tampak sangat ngantuk saat malam hari. Aku juga pernah terkejut melihat bayiku terjaga sendirian karena ditinggal tidur oleh orang di sekelilingnya termasuk olehku.
Meski mertuaku ini menganut budaya patriarki, tapi aku belum pernah mendengar beliau berkomentar pada anaknya tentang kelakuanku yang saat beliau berkunjung ke rumah kami diakhir pekan terlihat sering pegang hape sambil rebahan di kamar, sedangkan anaknya sibuk memandikan anak balita atau masak di dapur. Fyi, suamiku hobi banget sama masak bahkan dia sampai kepingin buka usaha rumah makan, hehehe, aamiin.
Aku nggak tahu apa yang dipikirkan mertuaku melihat pemandangan itu. Awalnya aku merasa nggak enak karena takut dicap sebagai menantu buruk, tapi aku memilih egois untuk lebih memikirkan diriku saat beliau berkunjung, kapan lagi kan aku bisa melakukan hobiku ini, sementara pekerjaan rumah suami yang handle, dan anak bermain bersama neneknya. Lagi pula aku juga nggak selalu seharian nulis di kamar kok, masih ada momen ikut nimbrung ngobrol bersama suami dan mertua. Hanya saja aku selalu memberikan waktu pada suami dan mertuaku untuk ngobrol berdua, siapa tahu ada hal yang ingin disampaikan diantara mereka berdua.
Aku selalu berusahan tampil apa adanya di depan mertua, bersikap apa adanya, tanpa melebih-lebihkan, meskipun mungkin ada saja sikapku yang kurang mengenakkan di matanya seperti yang sudah kuceritakan di atas. Aku nggak begitu ambil pusing karena kupikir beliau hanya melihatku dalam mode saat akhir pekan saja, itu pun nggak setiap akhir pekan. Sedangkan setiap hari aku hidup bersama suamiku. Dia yang lebih tahu apa yang aku lakukan setiap hari, kami selalu berusaha saling melengkapi satu sama lain.
Tak hanya saat mertua berkunjung ke rumah, melainkan saat aku berada di rumah mertua pun aku jarang banyak berkontribusi membantu pekerjaan rumah, paling hanya sekadar mencuci piring bekas makan. Lagi pula mertuaku ini mirip Mamaku yang selalu sat-set mengerjakan pekerjaan rumah yang saat aku keluar dari kamar kondisi rumah sudah tampak rapi dan bersih.
Bagiku selama suamiku masih nyaman hidup berdampingan denganku, maka duniaku akan tetap baik-baik saja. Terserah orang lain mau beranggapan apa, aku hanya peduli dengan kewarasanku yang lebih penting agar aku bisa merawat dan mengasuh anak kami dengan baik. Aku juga akan selalu belajar berusaha berpikir positif pada siapa pun, termasuk pada Mama mertuaku yang kuanggap sebagai pengganti almh. Mamaku.
Aku menulis panjang lebar seperti ini gara-gara aku mendapati sebuah konten di medsos yang menggambarkan kondisi saat ada dan tidak ada mertua di rumah. Si pembuat konten tampak gesit saat ada mertuanya di rumah, sedangkan dia kembali leyeh-leyeh saat mertuanya pergi. Melihat itu aku jadi berpikir apakah memang selalu begitu kondisi saat mertua berkunjung ke rumah, tapi kurasa itu akan melelahkan seperti melakukan pencitraan. Biarkanlah aku tetap menjadi apa adanya di mata mertuaku. Alhamdulillah mertuaku baik, hehehe. Kuanggap dia seperti orang tua sendiri berhubung aku sudah nggak punya Mama juga kan, dan aku juga bersikap seolah sedang berada di depan orang tuaku, apa adanya, hehehe. Gitu nggak sih konsepnya?.
Baiklah Diaris tulisanku sudah semakin panjang dan semakin ngawur. Biar nggak makin ngawur, kita stop aja ya sampai di sini. Semoga menghibur. Jika ada yang tidak sependapat dengan tulisanku, boleh sharing di kolom komentar ya Diaris. Terima kasih telah membaca diaryku.
Komentar
Posting Komentar