Assalamu'alaykum Diaris.
Kembali lagi bersama cerita pergigian. Aku nulis diary ini sambil merasakan cekut-cekut di pipi kiri pasca operasi cabut gigi bungsu semalam. Kenapa kusebut operasi? Karena cabut gigi bungsu ini dilakukan oleh Dokter Bedah Mulut, bukan dokter gigi umum dengan proses yang cukup asyik, terdiri dari part-part yang pernah kuceritakan di diary cabut gigi bungsu.
Kalau Bapakku tahu aku baru saja cabut gigi bungsu lagi, beliau pasti tanya, "kenapa dicabut lagi?, nanti habis gigi kamu, gimana ngunyah makanan?". Hehehe. Jadi kan gigi bungsu itu ada empat ya, Atas-bawah kanan-kiri. Yang sudah berhasil dicabut itu sebelah kanan bawah, iya yang atasnya belum dicabut, mudah-mudahan nggak bermasalah deh. Nah semalam aku baru saja cabut gigi bungsu yang sebelah kiri. Kalau ini sih full atas dan bawah sekaligus, biar sakitnya sekalian dan kebetulan dua-duanya agak bermasalah.
Sebetulnya cabut gigi bungsu yang sebelah kiri ini sudah disarankan sejak lama setelah pulih luka cabut gigi bungsu yang pertama, kurang lebih dua tahun yang lalu. Namun, dikarenakan proses operasi yang pertama cukup membuatku trauma, makanya kuurung terus sampai tibalah hari dimana aku pergi untuk scalling ke dokter gigi langgananku, drg. Muthia Khansa di RS Nuraida yang berlokasi di Jl. Achmad Sobana No.105, RT.04/RW.06, Tegal Gundil, Kec. Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat 16152.
Seperti biasa dengan menggunakan scaller Dokter membersihkan karang gigi yang saat itu tidak terlalu banyak, tapi cukup membuat ngilu. Sambil membersihkan gigi area belakang, Dokter sesekali mengingatkan aku untuk cabut gigi bungsu sebelah kiri takutnya keburu bermasalah nanti tambah repot katanya. Belum sempat aku merespon kalimatnya, tiba-tiba Dokter mengatakan bahwa gigi bungsuku ini tampak mulai berlubang dan menghitam, bahkan ada pula sisa makanan keluar dari sana, padahal sebelum treatment gigi aku selalu sikat gigi dulu dengan hati-hati dan berusaha memastikan gigiku sudah bersih dari sisa-sisa makanan.
Dokter bilang dikarenakan posisinya mojok banget dengan bentuk yang abnormal, kemungkinan gigi bungsuku akan sulit terjamah oleh sikat gigi sekalipun sikat gigi dengan ukuran kecil. Tak hanya gigi bungsu kiri bawah, yang atas pun sama mulai menghitam. Dokter menunjukkan wujud asli kedua gigi tersebut melalui monitor kecil yang ada di depanku, dan memang tampak mengerikan. Pantas saja terkadang aku merasakan nyeri di area graham kiri itu. Duh, masalah baru!
Dan lagi dengan lemah lembut khasnya, drg. Muhtia menyarankanku untuk segera melakukan tindakan cabut gigi bungsu lagi, kali ini dua-duanya, atas dan bawah. Seperti biasa beliau yang akan membantu preadmisinya ke pihak Asuransi. Tindakan ini akan disponsori oleh Asuransi fasilitas dari tempat kerja suamiku seperti cabut gigi bungsu sebelumnya. Dengan pasrah sambil membayangkan proses cabut gigi bungsu sebelumnya yang ngeri-ngeri sedap, aku pun mengiyakan. Setelah itu aku pulang.
Beberapa hari kemudian, dr. Muthia mengirimiku pesan via whatsapp untuk memastikan apakah aku bersedia melakukan cabut gigi bungsu. Lalu beliau memintaku untuk melengkapi persyaratan untuk proses preadmisinya, seperti photo panoramic, KTP, dan kartu asuransi. Setelah itu beliau memintaku untuk menunggu acc dari pihak asuransi sebelum dibuatkan jadwal tindakan.
Singkat cerita, semua proses administrasi sudah selesai, tibalah hari dimana gigi bungsu sebelah kiriku akan dieksekusi. Aku dapat jadwal tindakan di malam minggu jam 7 malam. Sempat ragu sih karena jarak dari rumah ke Rumah Sakit itu sekitar 10 km, kurang lebih butuh waktu 33 menit kalau pakai ojol tanpa macet.
Aku minta izin ke suami, dia bilang nggak apa-apa kalau nggak takut karena memang dia nggak bisa menemani. Sebelum punya anak aku selalu ditemani sama suami kemana-mana, tapi sekarang prioritas kami berbeda, ditambah lagi kami tinggal di tempat rantau yang jauh dari keluarga. Meski tinggal di kota yang sama, tapi jarak rumah kakakku pun nggak dekat, nyaris satu jam perjalanan untuk menempuhnya dari rumahku. Di sini hanya ada aku, suami, dan anak balita kami. Kami secara bergantian menjaga anak balita kami, kecuali kalau memang ada mertua yang kebetulan bertandang, barulah mungkin kami bisa menitipkannya sebentar.
Malam itu aku pergi ke rumah sakit diantar Abang Ojol selepas shalat Maghrib. Sebenarnya sih bukan takut di perjalanannya karena malam minggu pastilah jalanan ramai oleh mereka yang membudayakan malam mingguan, tapi aku takut dengan kengerian saat tindakan cabut gigi bungsu nanti, aku membayangkan apakah akan seheboh sebelumnya?. Tapi, yoweslah apapun yang terjadi ada Alloh Swt. bersamaku. Nggak perlu takut akan banyak hal.
Sesampainya di Rumah Sakit yang tampak sepi dan lengang, hanya ada beberapa petugas dan beberapa penunggu pasien sepertinya, aku langsung menuju bagian pendaftaran untuk konfirmasi kehadiran, lalu menuju ke tempat perawat untuk melakukan tensi dan timbang berat badan seperti biasanya. Setelah itu, aku diminta untuk menunggu antrean poli gigi. Di sana hanya ada aku dan seorang remaja laki-laki yang semula kupikir dia pasien juga, tapi ternyata dia hanya seseorang yang ikut mengantar kakaknya cabut gigi. Dari tempat dudukku yang menghadap ke arah pintu ruang tindakan, aku mendengar suara bor yang biasa digunakan untuk memotong tulang gusi. Makin deg-degan aja nih.
Sekitar pukul delapan malam aku mulai masuk ke ruang poli. Seperti biasa dokter bedah mulut bersama perawatnya menyambutku dengan ramah. Aku langsung dipersilakan duduk di kursi tindakan sambil sedikit membahas masa lalu, masa-masa cabut gigi bungsu sebelumnya karena dokter bedah mulutnya masih orang yang sama. Dokter bedah mulut mengonfirmasi bahwa akan ada dua gigi bungsu yang akan dicabut, atas dan bawah, katanya sih gigi atas nggak akan rumit seperti gigi bungsu bawah bahkan tindakannya cukup dilakukan beberapa menit saja karena posisinya yang tegak. Baiklah, selain percaya pada Alloh Swt. yang selalu menjagaku, aku juga akan berusaha memercayai apa yang dikatakan dokter bedah mulut. Mbak perawat memintaku untuk menandatangani surat persetujuan melakukan tindakan cabut gigi bungsu.
Setelah memeriksa kondisi gigi yang akan dieksekusi, dokter bedah mulut mulai melakukan suntik anestesi. Rasanya tuh nano-nano deh, aku merasakan suntik anestesi kali ini agak berbeda dari sebelumnya lebih berasa gitu nyerinya, mungkin efek aku tegang kali ya. Malam itu aku memang agak tegang dibanding dengan cabut gigi sebelumnya, mungkin masih ada keping-keping trauma dipikiranku. Lebay memang, wakakak. Tak jarang mbak perawat dengan suara lembutnya mengingatkanku untuk rileks.
Setelah area mulut sebelah kiri terasa kebas, dokter bedah mulut pun mulai melakukan eksekusi. Dimulai dari gigi bungsu bawah terlwbih dahulu yang pasti rumit. Belum ada perubahan dari prosedurnya. Pertama membuka kulit gusi, dilanjutkan memotong tulang gusi, lalu mengambil si gigi bungsu. Kali ini berbeda, dari tahap pertama hingga kedua tak memakan waktu lama. Tahu-tahu dokter bedah mulut bilang bahwa dia akan memutilasi giginya untuk memudahkan proses evakuasi, wakakak.
Memang part ini yang membuatku trauma. Gigi bungsu ini begitu kuat melekat, sulit untuk terlepas. Selama tahapan ini, beberapa kali aku merasakan seperti ada sengatan listrik di rahangku (ekstrem ya). Katanya sih karena posisi gigiku ini cukup dekat dengan syaraf apa gitu namanya (lupa). Dalam hati aku terus beristigfar berusaha menenangkan diri. Akhirnya dengan penuh kesabaran dan gotong royong dari dokter bedah mulut beserta timnya, gigi bungsuku berhasil diambil. Alhamdulillaah. 30 menit sudah proses cabut gigi ini berlangsung. Lebih cepat dari cabut gigi yang sebelumnya, meski tetap banyak drama selama prosesnya. Dokter bedah mulut mulai melakukan penjahitan luka.
Selanjutnya beralih ke gigi bungsu bagian atas. Sama seperti cabut gigi biasanya, dilakukan anestesi terlebih dulu. Setelah dipastikan anestesinya bekerja, dokter bedah mulut mulai mengeksekusi gigi bungsu atas dengan hanya memasukan alat seperti obeng, entahlah apa itu namanya, lalu gigiku seperti dicungkil-cungkil, dan tak lama kemudian, gigiku copot begitu saja. Benar-benar kilat. 10 menit pun nggak.
Oke Diaris, acara cabut gigi bungsu pun telah usai. Perawat membersihkan noda-noda darah di sekitar mulutku. Aku mulai rapi-rapi sambil ngobrol sedikit dengan dokter, anggaplah sesi pendinginan. Setelah itu, aku segera menuju farmasi untuk mengambil obat. Untuk pembayarannya aku pakai asuransi, seperti yang sudah diceritakan sebelumnya. Proses administrasinya sudah dibantu oleh dokter gigiku. Terima kasih Dok.
Tepat pukul sembilan malam, aku pulang diantar Abang ojol. Untungnya gigiku belum terasa sakit selama perjalanan pulang, masih terasa kebas dan kaku pastinya. Sesampainya di rumah, kurang lebih setengah sepuluh malam, aku langsung bersih-bersih, shalat Isya, dan minum obat. Enaknya cabut gigi jadwal malam tuh bisa langsung tidur, tanpa perlu menghadapi waktu makan. Fyi, sebelum pergi ke Rumah Sakit aku sudah makan. Semoga diary kali ini menghibur ya. See you.
Komentar
Posting Komentar