Assalamu'alaykum Diaris.
Tulisan kali ini merupakan sebuah pengalaman yang menurutku kurang mengenakan selama aku hidup bertetangga. Sebenarnya aku agak ragu untuk nulis pengalaman ini, tapi ya daripada mengganjal di hati, mending aku share disini siapa tahu ada yang pernah mengalami juga, anggaplah sebagai self healing untuk aku pribadi.
Setelah dua tahun menikah, dan dua tahun pula mengontrak rumah, akhirnya dengan segala macam pertimbangan aku dan suami memutuskan untuk memiliki hunian tetap. Berdasarkan beberapa kali survey dengan proses yang panjang, akhirnya kami pun tinggal di sebuah perumahan sederhana dengan penduduk yang cukup ramai, maksudnya bukan perumahan baru. Kami sengaja memilih rumah siap huni agar bisa langsung ditempati tanpa perlu lagi mengeluarkan budget untuk membuat dapur seperti rumah baru di perumahan pada umumnya, paling hanya sedikit renovasi.
Sejak awal tinggal di sini, aku mendapat sambutan hangat dari tetangga-tetangga sekitar dan itu membuatku merasa nyaman untuk tinggal di sini. Di blok tempat tinggalku ini, sepertinya aku dan suami merupakan pasangan muda satu-satunya karena mayoritas tetangga di sini rata-rata berusia di atas 30 tahun. Kadang aku merasa takut keberadaanku mengganggu tetangga, mengingat aku punya anak balita yang baru berusia satu tahun saat pertama kali pindah ke sini. Tahu sendiri kan ya seperti apa tingkahnya anak balita, apalagi kalau udah tantrum. Maa Sha Alloh. Akan tetapi, dengan melihat keramahan tetangga di sini, membuatku sedikit tenang, apalagi setelah aku tahu ternyata di sini bukan hanya aku aja yang punya balita, bahkan ada juga yang baru melahirkan anak keduanya. Alhamdulillaah ternyata aku nggak sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sudah hampir dua tahun keluarga kecilku tinggal di sini. Anak balitaku pun sudah mulai tumbuh dan berkembang. Dia sudah lepas ASI karena sudah masuk usia dua tahun. Namun, diusia dua tahun ini anakku jadi lebih mudah emosi, tantrum, marah, bahkan tak jarang dia menangis sambil jerit-jerit. Segala hal bisa jadi masalah besar baginya, misalnya jika tiba-tiba mati listrik, anak balitaku ini bisa emosi, marah, dia merengek agar listrik dinyalakan, kami sebagai orang tua hanya berusaha untuk menenangkan tangisannya. Risih juga kan takut suara tangisannya mengganggu tetangga sekitar. Berbagai cara kami lakukan, meski tak selalu berhasil. Ujung-ujungnya anak balitaku berhenti menangis setelah dia merasa lelah sendiri, nasib baik kalau listrik segera menyala.
Fase Terrible Two
Sebagai orang tua newbie, aku sempat bingung dengan perubahan emosi yang terjadi pada anak balitaku, tapi setelah membaca beberapa informasi di internet tentang tumbuh kembang anak, ternyata anakku sedang berada dalam fase yang dinamakan terrible two. Dikutip dari laman hellosehat.com, terrible two merupakan fase perkembangan normal pada anak di atas satu tahun yang ditandai dengan tantrum, melakukan perilaku menantang, dan mudah frustrasi. Meski menekankan pada usia 2 tahun, fase yang normal ini bisa mulai ditunjukkan anak usia 18—30 bulan. Bahkan, kondisi ini dapat bertahan hingga anak mencapai usia 3 tahun dengan frekuensi tantrum yang berkurang.
Walaupun disebut sebagai perkembangan yang normal, fase ini sering kali membuat orang tua kewalahan. Pasalnya, anak usia 1—3 tahun mengalami perkembangan yang cukup signifikan, baik secara fisik maupun intelektual. Selama tahap ini, anak secara alami ingin menjelajahi lingkungannya dan melakukan apa yang mereka inginkan dengan cara mereka sendiri. Akan tetapi, karena keterampilan verbal, fisik, dan emosional mereka belum berkembang dengan baik, anak dapat dengan mudah menjadi frustrasi ketika gagal berkomunikasi atau melakukan tugas secara memadai. Sebagai orang tua aku harus pandai-pandai bersabar dalam menghadapi fase ini, meski tak mudah ya, tak jarang emosi ikut tersulut menghadapi tingkah laku anak balitaku yang sedang dalam fase terrible two ini.
Selain harus pandai-pandai bersabar mendampingi anak balita yang sedang berada di fase terrible two, aku pun harus betul-betul meluaskan sabarku yang seluas daun kelor ini untuk menghadapi tetangga yang ternyata tanpa kusadari sering tantrum karena mendengar tangisan anakku.
Jujur, setelah hampir dua tahun aku tinggal di sini, aku baru tahu bahwa ada salah satu tetanggaku yang merasa terganggu dengan suara tangisan anak kecil, termasuk anak balitaku. Aku benar-benar nggak tahu hal ini karena selama aku tinggal di sini, beliau bersikap seakan semuanya baik-baik saja, bahkan saat kami berada di acara makan-makan bersama tetangga lain pun dia tak pernah menyinggung suara tangisan anak balitaku yang begitu nyaring ini, berbeda dengan tetangga lain yang tak jarang berkomentar, "si adek kenapa nangis?", "mau main keluar kali tuh", serta komentar-komentar lainnya. Kupikir mereka yang berkomentar ini mungkin merasa terganggu dengan suara tangisan anak balitaku. Namun, ternyata faktanya justru yang diem-diem bae ini yang benar-benar merasa terganggu.
Ternyata Tetanggaku Tantrum
Panggil saja dia Bu Mawar (Nama samaran). Beliau adalah salah satu tetanggaku yang rumahnya bisa dibilang cukup berdekatan dengan rumahku. Aku baru tahu beliau begitu terganggu dengan suara tangisan anak balitaku setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku baru pulang mudik, bisa dibilang masih dalam suasana Idul Fitri ya. Di suatu sore sekitar jam setengah lima, suamiku hendak mencukur rambut anak balita kami yang sebetulnya rambutnya belum begitu panjang sih, hanya saja anak kami ini mudah berkeringat dan membuatnya lebih sering menggaruk kepala, kulit kepalanya jadi lecet.
Seperti biasa suamiku mencukur rambut anak kami di depan rumah karena biar lebih mudah membersihkan potongan-potongan rambutnya. Fyi, kami belum pernah mengajak anak kami untuk potong rambut di salon anak karena pasti dia menolak. Potong rambut dengan ayahnya saja sudah nangis histeris, sampai-sampai Bu Mawar pun ikut tantrum.
Saat anak kami nangis histeris ketika dicukur rambutnya, saat yang bersamaan pula aku mendengar Bu Mawar berteriak diikuti dengan suara ribut dari rumahnya, seperti suara benda-benda yang telempar. Tak lama kemudian aku mendengar suara motor dinyalakan dari rumah Bu Mawar, suaranya begitu kencang sekali, seperti suara mesin motor yang digas terus menerus. Saat itu aku hanya berpikir mungkin beliau akan bepergian dan memanaskan motornya dulu.
Namun, aku mulai merasa ada yang aneh saat suara tangisan anakku semakin histeris, suara motor Bu Mawar pun malah makin berisik, makin digas, ditambah suara klakson yang juga terus dibunyikan secara bersamaan. Aku jadi ingat keponakanku yang senang memainkan klakson motor kakeknya. Buat apa Bu Mawar nyalakan klakson motor seberisik itu, kayak anak kecil aja.
Akhirnya acara cukur rambut anak kami pun selesai. Suamiku membawa anak kami ke kamar mandi untuk dibersihkan sekalian mandi sore. Si anak balita sesekali masih menangis di kamar mandi dan suara tangisannya terdengar sampai keluar rumah karena memang anak balitaku ini dianugerahi suara yang begitu nyaring, jangankan menangis, sekadar bicara pun udah nyaring.
Setiap kali suara tangisan anak balitaku terdengar, maka suara motor Bu Mawar disore itu pun terdengar semakin berisik digas berbarengan dengan suara klaksonnya yang menambah kebisingan sore itu. Aku mulai nggak enak hati. Sambil membersihkan sisa-sisa potongan rambut si anak balita, tiba-tiba aku mendengar suara Bu Mawar setengah berteriak, suaranya begitu jelas di telingaku, seolah Bu Mawar memang berharap suaranya didengar olehku. Kalimat yang diucapkannya seperti ini dalam bahasa sunda, "DARIPADA SUARA MEWEK, MEWEK, MEWEK WAE, BENGENG!" (Bahasa Indonesia : "Daripada suara nangis, nangis, nangis terus, cengeng!"). Beliau mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh amarah, terdengar dari nada bicaranya yang arogan.
Rasa nggak enak hatiku langsung tervalidasi setelah mendengar suara Bu Mawar sore itu. Badanku seketika langsung gemetar, dada terasa sesak, dan seperti ada yang mengganjal di hati. Aku langsung masuk ke rumah dan menceritakan kepada suami apa yang baru saja kudengar. Suamiku hanya bilang, "Ya udah biarin aja". Simpel banget kan responnya, sedangkan aku nggak bisa dengan jawaban sesimpel itu. Aku sebagai warga baru di sini merasa nggak enak hati sebab suara tangisan anak balitaku yang mungkin sudah mengganggu orang lain, dan memang nggak ada suara tangisan anak balita lain sore itu. Tapi, aku juga kaget sih dengan attitude Bu Mawar yang semula kukenal baik, kok bisa seperti itu?. Aku tetap berpikir positif, mungkin beliau sedang ada masalah, makanya semarah itu.
Dengan seizin suami, sore itu aku langsung berkunjung ke rumah Bu Mawar dengan membawa sedikit oleh-oleh mudik, berniat untuk meminta maaf jika memang suara tangisan anakku tadi telah mengganggunya. Dari luar pagar rumahnya aku mendengar suara televisi yang begitu jelas menandakan pintu rumahnya terbuka, tapi sudah tiga kali aku mengucap salam dengan suara yang cukup nyaring, tak juga ada yang menjawab. Setelah ucap salam yang keempat kalinya, barulah aku mendengar suara suaminya menjawab salamku dan tak lama kemudian pintu pagar terbuka. Ternyata suaminya yang menemuiku.
Sesuai rencana aku memberikan sedikit oleh-oleh mudik, lalu meminta maaf atas kegaduhan tadi yang mungkin telah mengganggu kenyamanan Bu Mawar. Dengan ekspresi wajah yang sedikit merasa nggak enak, suami Bu Mawar menjelaskan bahwa istrinya sedang sakit, sudah lama katanya. Semenjak sakit Bu Mawar ini jadi mudah emosi, dia nggak suka dengar suara tangisan anak kecil, bisa langsung emosi dan marah katanya, bahkan suaminya pun nggak ngerti dengan kondisi Bu Mawar saat ini. Beliau juga nggak cerita secara spesifik penyakit apa yang sedang diderita oleh Bu Mawar, beliau hanya meminta agar setiap anak balitaku nangis untuk dibawa masuk ke dalam rumah, atau mungkin ke kamar belakang supaya suara tangisannya nggak terdengar oleh Bu Mawar. Mendengar penuturannya, aku pun menjelaskan bahwa suara anakku cukup nyaring, meski dibawa ke kamar belakang, aku nggak bisa menjamin suara tangisannya nggak terdengar keluar rumah.
Aku menjelaskan seperti itu dengan harapan agar kami bisa saling menghargai kondisi masing-masing, aku akan berusaha dengan caraku, dan beliau juga mau memaklumi seandainya suara tangisan anak balitaku tetap terdengar ke rumahnya. Di rumahku nggak ada peredam suara juga kan, ditambah lagi posisi rumahnya yang cukup berdekatan dengan rumahku, cukup sulit untuk menjamin suara tangisan anakku nggak sampai ke rumahnya. Lagian anak balitaku juga nggak setiap waktu tantrum dan nangis kok, dan nggak akan selamanya jadi balita juga kan. Anakku pun akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya seorang manusia. Tapi yaudahlah ya, saat itu aku hanya bisa minta maaf dan segera pulang ke rumah. Meski masih ada yang mengganjal di hati, tapi setidaknya badanku sudah tak gemetar lagi seperti sebelumnya.
Beberapa menit setelah aku pulang dari rumah Bu Mawar, tiba-tiba aku mendapat sebuah pesan via whatsapp dari nomor yang tak dikenal, ternyata itu pesan dari Bu Mawar. Pesan tersebut dimulai dengan kalimat permintaan maaf, beliau bilang sudah lama ingin bicarakan hal ini padaku, lalu beliau cerita bahwa sejak Februari kemarin beliau sakit.
Dalam pesan itu beliau cerita bahwa dari dulu beliau ini paling nggak bisa dengar suara anak kecil nangis, bawaannya selalu emosi. Beliau bilang, udah mau 15 tahun tinggal di sini dan sudah terbiasa dengan keadaan sepi. Jadi, beliau merasa terganggu dengan suara tangisan anak kecil dari rumahku. Beliau juga memintaku agar membawa anakku ke kamar belakang setiap anakku nangis supaya suaranya nggak terdengar sampai ke rumahnya. Beliau bilang setiap mendengar suara tangisan anak kecil bawaannya selalu emosi, mau marah, bahkan sampai jantungnya berdebar. Katanya beliau jadi punya vertigo dan sesak. Beliau pun mengeluhkan saat lagi enak tidur malam-malam, tiba-tiba dengar anak balitaku nangis sampai jerit-jerit, beliau langsung terbangun, jantungnya jadi berdebar, dan ujung-ujungnya jadi kesal katanya. Oh iya beliau juga bilang kalau suaminya sudah berkali-kali mengingatkan untuk dibawa enjoy aja, dinikmati, tapi beliau bilang nggak bisa, beliau tetap emosi, pusing banget rasanya dengar anak kecil jerit-jerit, bawaannya jadi kepingin teriak-teriak, begitu katanya.
Beliau sempat memeriksakan kesehatannya ke dokter, dan alhamdulillaah hasilnya bagus semua. Secara fisik sehat dan normal, tapi dokternya malah menyarankan beliau untuk ke psikiater. Entahlah beliau sudah melakukannya atau belum, beliau nggak cerita. Beliau hanya bilang bahwa dirinya jadi sering mendengarkan musik kenceng-kenceng untuk mengalihkan suara tangisan anak balitaku ini. Aku nggak ngerti apa yang sedang diderita oleh Bu Mawar. Jika secara fisik sehat, apa mungkin beliau sedang punya masalah berat yang terpendam di dasar hatinya hingga mengganggu emosinya sampai-sampai disarankan pergi ke psikiater. Jika benar begitu daripada dengar musik kenceng-kenceng, mending dengar murottalan, atau tausyiah di youtube yang lebih menenangkan jiwa.
Setelah membaca pesannya dengan seksama, aku pun segera membalas pesan tersebut. Dan lagi aku minta maaf karena mungkin keberadaan keluarga kecilku telah mengganggu kenyamanannya selama hampir 15 tahun tinggal di sini. Tak lama kemudian beliau membalas pesanku lagi yang isinya ucapan "terima kasih atas perhatiannya". Diakhir pesan beliau juga minta pengertian padaku atas kondisinya itu dan berharap agar anakku nggak rewel lagi kedepannya.
Inti dari pesan tersebut yang kutangkap adalah beliau minta untuk dimengerti atas kondisinya yang tak tahan mendengar tangisan anak kecil, dan aku juga diminta untuk mencegah suara tangisan anak balitaku agar tak terdengar ke rumahnya, lebih bagus bisa mencegah anakku biar nggak rewel. Siapa sih yang nggak senang kalau anaknya anteng dan nggak rewel, tapi kalau anak balita nggak pernah rewel pun patut dipertanyakan karena normalnya anak pasti ada momen dimana dia rewel, nangis, dan tantrum, nggak selalu ceria. Dan menurutku itu wajar sebagai respon dari emosinya, kecuali dia tantrum terus-menerus tanpa henti sepanjang hari, barulah itu nggak normal.
Sebenarnya tanpa perlu diingatkan pun aku dan suami selalu berusaha untuk menenangkan si anak balita saat dia tantrum. Kami juga punya rasa risih saat suara tangisan anak kami nyaring terdengar, takut mengganggu tetangga sekitar, apalagi kalau dia nangis tengah malam saat semua orang beristirahat, aku dan suami begitu ketar-ketir berusaha menenangkan si anak balita. Di satu sisi, kami nggak enak dengan tetangga sekitar. Di sisi lain, kami juga bingung dan berusaha tetap tenang untuk memahami apa yang diinginkan oleh si anak balita karena tak jarang ternyata dia hanya ingin menangis saja.
Jika perkara mencari dan membeli rumah semudah beli seblak, mungkin kami akan pindah rumah agar Bu Mawar tak terganggu. Bahkan sebelum memutuskan memilih rumah ini, suamiku pernah bertanya ke pemilik sebelumnya apakah lingkungan di sini ramah anak kecil atau nggak karena kami punya anak balita. Pemilik rumah sebelumnya bilang bahwa di sini aman-aman aja, di sini banyak yang punya anak kecil katanya, termasuk dirinya. Kami bertanya seperti itu karena takut hal-hal semacam ini terjadi, walaupun akhirnya terjadi juga. Dan lucunya lagi, Bu Mawar pun merupakan seorang ibu dengan dua anak yang mana kedua anaknya pasti pernah menjadi bayi dan balita sebelumnya.
Aku nggak mau cerita disini seperti apa serunya menjadi ibu, aku yakin setiap orang tua pun pasti merasakan hal yang sama, punya cerita keseruannya masing-masing. Rasanya nggak perlu beradu siapa yang lebih ini, siapa yang lebih itu. Yang pasti setelah punya anak, aku jadi mengerti bahwa mengasuh anak itu nggak semudah yang kubayangkan sebelumnya. Tak hanya tingkah lucunya saja yang kita terima, tapi tantrumnya pun harus kita hadapi dengan penuh kesabaran mengingat keterampilan verbal, fisik, dan emosional anak balita usia dua tahun belum berkembang dengan baik, makanya wajar saja jika mereka mudah frustasi dan mengekspreksikannya lewat tangisan karena baru itu yang mereka bisa. Hal itu bukan semata-mata karena dia "BENGENG" seperti yang dikatakan oleh Bu Mawar. Aku yakin Bu Mawar pasti pernah kan mengasuh anak balita. Beliau pun pasti merasakan seperti apa keseruan mengasuh anak balita yang belum banyak mengerti karena dia masih baru berada di dunia, sedangkan kita sebagai orang tua yang sudah lebih lama berada di dunia dari padanya, harus belajar untuk bisa memahaminya, dan itu nggak mudah.
Melalui tulisan ini aku nggak mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Aku hanya ingin kita saling menghargai satu sama lain sebagai mahluk sosial yang hidup bertetangga, pun sebagai sesama perempuan dan seorang ibu. Sebelum tinggal di sini, aku juga pernah tinggal di suatu tempat yang mana beberapa tetanggaku memiliki anak balita. Tak jarang aku menyaksikan anak balita mereka tantrum, bahkan ada yang sampai tantrum di tengah jalan gang sempit. Jujur, aku yang belum punya anak saat itu mendadak pusing menyaksikannya, tapi aku pikir orang tuanya lebih pusing lagi. Dan sekarang aku merasakan sendiri menghadapi tingkah laku anak balita yang unik. Aku sebagai orang tua newbie masih belajar bagaimana mengasuh anak yang baik. Kupikir alih-alih meminta pengertian padaku yang setiap hari masih belajar menjadi orang tua dan berusaha selalu tetap waras demi menjadi ibu yang baik, alangkah eloknya memberikan kiat-kiat bagaimana cara mengasuh atau menenangkan anak tantrum dengan baik dan benar berdasarkan pengalamannya.
Tapi, aku salut sih sama Bu Mawar ini, ditengah kondisinya yang nggak tahan dengar tangisan balita, dia bisa bertahan loh selama mengasuh kedua anaknya dulu. Entah bagaimana cara beliau meredam suara tangisan anaknya sehingga dirinya tak merasa terganggu karena menurut penuturannya lewat pesan yang dikirimkan padaku, beliau bilang bahwa dari dulu nggak suka dengar suara anak kecil nangis, atau mungkin anaknya memang nggak pernah atau sengaja nggak dibiarkan menangis. Entahlah. Mungkin saja beliau menganggap bahwa gaya parentingku ini kurang tepat karena anakku dibiarkan menangis hingga suaranya terdengar sampai ke rumahnya, dan membuat beliau terganggu hingga beliau berbuat demikian.
Tapi, bagaimanapun juga itu hak beliau, merasa terganggu dengan suara tangisan anak balitaku, sama halnya denganku yang tak jarang merasa terganggu dengan suara-suara musik yang diplay kencang, suara karaokean dari tetangga sekitar, tapi aku sadar bahwa kami bertetangga, toh suara-suara tersebut juga tak selalu sepanjang hari terdengar. Kukira semua orang berpikir yang sama, bisa saling memaklumi, ternyata tidak begitu.
Namun, aku sedikit menyayangkan sikap beliau. Jika memang merasa terganggu dengan suara tangisan anak balitaku, kenapa nggak menegur atau membicarakannya padaku secara langsung mengenai kondisinya tersebut, tanpa perlu mengode-ngode dengan suara motor dan klaksonnya, apalagi sampai ngedumel dengan suara setengah berteriak. Rasanya sikap tersebut kurang pantas dimiliki oleh seorang istri dari seseorang yang biasa memberi kajian di Masjid tempat tinggal kami. Ya aku tahu bahwa ekspektasiku terlalu jauh. Seorang penceramah juga manusia kan ya, begitu juga istrinya, sama sepertiku. Lagi pula kan Bu Mawar sudah mengklaim dirinya sedang sakit, mungkin karena itu juga beliau bersikap demikian.
Namun, jika sebelumnya aku tahu kondisi beliau yang memang sedang sakit, setidaknya sore itu aku akan antisipasi untuk tidak mencukur rambut anak balitaku yang tak berdosa ini di depan rumah, suamiku bisa saja mencukur rambut anak kami di kamar mandi walaupun tak menjamin juga suara tangisannya tidak terdengar ke rumahnya. Mudah-mudahan Bu Mawar segera sembuh dari penyakitnya ya.
Meski kurang mengenakan, tapi pengalaman ini memberi banyak pelajaran untukku. Aku tidak menyalahkan beliau, aku juga tidak berharap apa-apa dari beliau, aku hanya akan fokus memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan sampai detik ini pun aku masih terus berusaha belajar menjadi orang tua yang baik sebagaimana mestinya. Aku dan suami juga akan berusaha mengerti kondisi beliau dengan cara kami, meski kami nggak bisa menjamin suara tangisan anak balita kami nggak terdengar sampai ke rumahnya. Nggak mungkin kami mengancam anak kami yang masih berusia dua tahun untuk tidak menangis, atau mengurungnya di kamar belakang, apalagi sampai membekap mulutnya saat dia menangis demi suara tangisannya tak terdengar ke rumah Bu Mawar.
Aku tahu, aku nggak bisa mengendalikan orang lain, aku hanya akan berusaha mengendalikan diri sendiri sebaik yang aku bisa dalam menghadapi setiap keadaan, termasuk menghadapi Bu Mawar. Sempat terpikir untuk pindah rumah, tapi kan sudah kubilang proses jual beli rumah nggak semudah proses jual beli beras. Lagi pula pindah rumah dengan alasan agar terhindar dari drama tetangga rasanya aneh, nggak menjamin juga setelah pindah rumah aku akan terhindar dari drama-drama macam ini. Bukankah masalah ada untuk dihadapi, bukan untuk dihindari (sok bijak banget ya). Aku akan berusaha untuk tetap bersikap yang sama seperti sebelumnya pada beliau. Meski sejak pulang mudik sampai insiden itu, dan hingga kini aku belum bertemu dengan beliau, paling aku mendengar suara motornya lalu-lalang depan rumahku seperti biasa beliau mengantar-jemput anaknya sekolah.
Waduh!! kayaknya tulisan kali ini merupakan tulisan yang paling panjang deh. Aku ucapkan terima kasih untuk Diaris yang membaca ceritaku dari awal sampai akhir. Silakan kalau kalian mau mengoreksi aku, jika ada pernyataan yang memang keliru, atau yang kalian nggak setuju. Aku berharap selalu ada manfaat yang bisa diambil ya dari ceritaku ini. See you.
Sumber:
https://hellosehat.com/parenting/anak-1-sampai-5-tahun/tumbuh-kembang-balita/terrible-two/
memang tantangan banget sih menjadi ortu itu.
BalasHapusSalah satunya menyikapi ketika anak kita mengganggu ketenangan orang lain.
Kalau saya emang paling takut sih kalau anak-anak sampai merugikan orang lain. Alhamdulillah, sejak anak pertama dan kedua, nggak pernah tantrum sampai nggak terkontrol.
memang sih saya galak, tapi mungkin itu sebagai bentuk menghargai tetangga buat saya. Karena kalau di posisi kayak gitu, biasanya saya membayangkan jika saya ada di posisi si tetangga.
Mungkin saja sedang depresi.
Kalau dibalik, tetangga yang jejeritan mengganggu kita dengan alasan depresi, lama-lama kan kita terganggu juga
Terima kasih sudah baca ceritaku Mbak.😊
Hapus