Assalamu'alaykum, Diaris.
Hei Diaris! Tahu lirik lagu My Facebooknya Band Gigi nggak?. Yang ini nih, "Berawal dari facebook baruku, kau datang dengan cara tiba-tiba." Hmm... dengar lirik lagu itu aku jadi ingat awal mula dekat dengan suamiku. Lewat Facebook baruku. Eits, tunggu, bukan berarti aku kenal sama suami di Facebook ya. Sebenarnya Aku dan suami itu satu sekolah waktu SMA di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Sukabumi. Dia adalah kakak kelas aku, kami beda satu tahun.
Namun, meski satu sekolah, aku dan suami nggak pernah tegur sapa, bisa dibilang nggak saling kenal, aku tahu suamiku karena kebetulan dia kenal dengan teman sekelasku. Tak jarang saat aku sedang bersama temanku ini, kebetulan suamiku lewat, beliau menyapa temanku. Ya, cuma temanku yang disapanya karena jelas aku dan suami saat itu memang tak saling kenal, sekadar tahu saja.
Hingga pada suatu hari, kalau nggak salah waktu itu aku ikut kepanitiaan sebuah acara di sekolah kami. Hari itu aku ditunjuk sebagai panitia lomba kaligrafi. Oh iya, posisinya aku kelas XI, suamiku kelas XII, bentar lagi mau lulus. Suatu malam yang ramai, maklum rumah Nini (panggilan untuk nenekku) pinggir jalan raya yang selalu berisik oleh kendaraan. Fyi, sejak SMA aku memang tinggal sama nini dan aki (panggilan untuk kakekku) karena sekolahku dekat dengan rumah mereka.
Lanjut lagi ya, malam itu kurang lebih bakda Isya, tiba-tiba dari depan pintu rumah Nini terdengar seperti ada yang bertamu. Tak lama kemudian Nini datang ke kamarku dan memintaku untuk menemui seseorang di depan, katanya sih temanku. Agak bingung juga karena baru kali ini ada temanku yang berkunjung malam-malam, mungkin ada keperluan penting pikirku. Aku beranjak menemui seseorang yang dimaksud, dia berdiri di depan pintu menghadap jalan, hah laki-laki?. Setelah kuhampiri ternyata yang berkunjung malam itu adalah suamiku dengan maksud dan tujuan menanyakan karya para peserta lomba kaligrafi tadi siang, katanya sih mau dipajang untuk acara Isra' Mikraj besok. Fyi, suamiku ini panitia juga, perwakilan dari ekskul remaja mesjid. Sayang seribu sayang, semua kaligrafinya nggak ada di aku, dibawa pulang sama bapak juri. Malam itulah pertama kalinya aku bertemu, bertatap muka, dan berbincang singkat dengan suamiku. Oh iya, malam itu suamiku nggak datang sendiri ke rumah, beliau bersama kedua temannya kalau nggak salah, yang pasti nggak sendiri.
Setelah malam itu nggak ada lagi komunikasi lanjutan antara aku dan suami. Semua berjalan seperti sediakala. Dua orang yang tak saling kenal melanjutkan hidupnya masing-masing. Aku naik ke kelas XII, sedangkan suami telah lulus sekolah dan entah lanjut kemana, aku nggak perlu tahu.
Aku melanjutkan sisa masa putih abu dengan berusaha seceria dan sebahagia mungkin, juga penuh semangat ditengah masih dibayang-bayangi si mantan pacar yang baru saja punya pacar baru. Ceritanya waktu itu aku belum bisa move on, maklum ABG labil yang cintanya kandas pas lagi sayang-sayangnya. Wueeekkk. Rasanya mau muntah saja jika ingat masa itu, tapi bagaimanapun juga itu adalah salah satu proses hidup yang mengantarkan aku pada sebuah komitmen untuk tidak pacaran hingga aku menikah dengan jodohku.
Selain galau urusan asmara, aku juga dibuat galau perihal pendidikanku yang baru saja gagal tembus Bidikmisi. Hmm.. tadinya aku ingin kuliah di Perguruan Tinggi Negeri dengan jurusan yang aku mau, sekaligus meringankan beban orang tua. Kecewa gagal Bidikmisi melebihi kecewa putus cinta. Aku jadi malas mencari perguruan tinggi yang cocok dengan kwalitas diriku ini, apalagi saat orang tua memintaku agar memilih program Diploma Tiga (mungkin karena masalah keuangan mengingat sebentar lagi Bapak pensiun), putus sudah harapan untuk memilih jurusan yang kumau, bahkan aku sempat berpikir untuk masuk sanggar saja, siapa tahu bisa jadi artis 'kan, tak usah kuliah. Dasar aku.
Namun, Alhamdulillaah otakku masih sehat. Aku masih bisa bepikir waras. Mungkin ini jalan hidupku, rezekiku ada di sana. Sesuatu yang kupikir baik, belum tentu baik menurut Alloh Swt. 'kan. Usai lulus SMA aku melanjutkan pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bogor yang telah dipilihkan oleh kakakku. Jurusan yang dipilih pun berdasarkan hasil vote keluargaku. Ya mau gimana lagi, aku juga bingung mau pilih yang mana karena untuk Program Diploma di PTS tersebut jurusannya terbatas.
Meski tak sesuai keinginan, tapi bukan berarti aku bermalas-malasan dalam belajar selama perkuliahan. Tidak ya, aku tetap semangat menjalaninya, belajar sebagaimana mestinya, berusaha untuk tak ada nilai C, menghindari remedial. Aku paham betul kuliah tak seperti waktu SMA, disini semuanya pakai uang dengan jumlah yang tak sedikit, maklum kwalitasku ini hanya mampu mendapatkan subsidi orang tua, tidak untuk subsidi kampus, apalagi pemerintah. Aku sangat tahu diri. Orang tuaku bukan orang kaya yang duitnya dimana-mana. Bisa menyekolahkanku dititik ini pun, aku sangat bersyukur. Aku bisa mendapatkan ilmu pengetahuan baru untuk bekalku menjalani kehidupan selanjutnnya.
Tak terasa setahun sudah aku menjadi mahasiswa Akuntansi. Lupa-lupa ingat persisnya, yang pasti waktu itu aku masih pakai handphone Nokia Seri 2600 classic yang kalau mau buka Facebook pakai bantuan Opera Mini. Hari itu kebetulan aku lagi banyak tugas dari kampus. Mau nggak mau aku harus isi kuota modem biar lebih gampang berselancar di internet. Sambil menyelam minum air, sambil kerjakan tugas buka Facebook juga. Kurang lebih sekitar Magrib aku mendapat sebuah pesan dari Facebook via Messenger. Sebuah sapaan dari seseorang yang nama akunnya tak asing bagiku. Suamiku mengirim pesan. Berikut sedikit potongan pesan dari suamiku yang dikirimnya via Messenger.
Sesuai dengan keterangan waktu pada pesan, akhir 2013 suamiku menyapa seperti yang tampak pada gambar di atas. Nggak kaget, nggak heran juga. Mungkin karena sebelum-sebelumnya banyak alumni sekolah yang menghubungiku juga via Facebook karena nggak punya kontak lain, kebanyakan mereka menanyakan informasi seputar kampus tempatku kuliah, entah itu untuknya sendiri, teman atau untuk saudaranya. Hal itu juga yang aku pikirkan saat suami minta nomor ponsel.
Namun, setelah kami bertukar nomor ponsel dan saling bertukar pesan via SMS, kami belum mengenal android waktu itu, tak ada obrolan yang mengarah pada apa yang aku pikirkan sebelumnya. Kami hanya mengobrol santai dan ringan membahas seputar kegiatan perkuliahan hingga aku tahu beliau ini kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Sukabumi. Sejak itu kami jadi sedikit akrab, meski belum pernah bertemu lagi setelah di rumah Nini malam itu. Tak sering, tapi tak jarang juga kami berbalas pesan hanya untuk membahas sesuatu misalnya seperti waktu itu suamiku bertanya padaku seputar pacaran dan hijab. Suamiku dari dulu hingga sekarang memang hobi mencari topik pembahasan untuk obrolan, daripada hanya sekadar bertanya, halo, hai, lagi apa, udah makan, juga kata basa-basi lainnya.
Sampailah pada suatu hari, suamiku mengirim pesan padaku seperti biasa, aku lupa waktu itu tengah membahas apa sampai suami cerita bahwa waktu SMA dia suka sama aku, bahkan sempat punya nomor ponselku juga, tapi nggak berani menghubungi, begitu katanya. Hah?! Kaget sih, nggak percaya karena setahuku kami nggak saling kenal. Namun, daripada aku memberi harapan-harapan palsu karena setahuku biasanya laki-laki yang suka chat perempuan dan udah membahas suka-sukaan (walau katanya waktu SMA), ujung-ujungnya ngajak pacaran. Betul tidak?. Demi menghindari itu semua, aku hanya membalas dengan ucapan terima kasih karena sudah menyukaiku. Lagian saat itu aku juga sedang tak ingin membuka kisah asmara, aku sedang fokus dengan pendidikanku dan berkomitmen untuk tidak pacaran hingga aku menikah dengan jodohku.
Kupikir suamiku ini akan menjauh setelah kujawab begitu. Yaaa seperti kebanyakan laki-laki yang nyebar jala, lalu menjauh saat mendapat sinyal penolakan. Eh tapi aku nggak nolak sih, suamiku juga nggak menyatakan perasaannya, beliau hanya bercerita tentang masa SMAnya. Selanjutnya kami masih berhubungan baik dalam artian masih mengobrol via SMS seperti biasanya, terkadang via telpon. Aku juga tak jarang meminta bantuannya terkait hal-hal yang berbau teknologi. Suamiku mahasiswa IT.
Jika Diaris berpikir obrolanku dan suami di SMS seperti muda-mudi yang sedang kasmaran, itu salah. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya bahwa kami tak sering, juga tak jarang berSMS ria. Kami mengobrol jika memang ada hal yang perlu dibicarakan atau ditanyakan, paling curhat sesekali, tak ada basa-basi diantara kami. Pernah juga tak kudengar kabarnya begitu lama, katanya sih sedang sibuk menyiapkan tugas akhir berikut wisudanya sampai tiba-tiba suamiku menghubungi lagi dengan cerita panjang lebarnya. Suamiku cerita tentang perasaan dilemanya karena diundang interview oleh tiga perusahaan. Waduhh.. udah mau kerja aja nih orang, perasaan baru wisuda kemarin.
Dan sepertinya itu merupakan obrolan panjang lebar terakhir antara aku dan suami karena setelahnya kami jarang berkomunikasi lagi. Sepertinya dia sudah mulai kerja, sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin punya pacar. Wuehehehe. Kalau belajar dari pengalaman sih laki-laki yang semula rajin ngajak perempuan chat, lalu hilang tiba-tiba biasanya punya gandengan baru, tapi tak apa itu wajar dan anehnya aku nggak merasa kehilangan seperti yang pernah kualami sebelumnya. Maklum dulu aku pernah jadi korban ghosting (kalo kata muda-mudi masa kini) oleh laki-laki pemberi harapan palsu. Hmmm.. mungkin pertahanan hatiku sudah cukup baik, nggak sampai terbawa perasaan. Malu lah sama komitmen yang sudah kubuat kalau sampai baper ya 'kan. Lagian waktu itu aku sedang fokus dengan masa-masa akhir perkuliahan, lalu siap-siap nyari kerja supaya nggak diajak pulang kampung. Hehehe. Gini nih udah betah di tanah rantau.
Aku jadi ingat waktu nyari kerja, apply lamaran ke banyak perusahaan, interview sana-sini. Aku yang notabene anak rumahan di perkampungan yang tak jarang dibilang penakut ternyata bisa sampai loh ke Kalideres, naik kereta subuh-subuh, berdiri sambil desak-desakan, dapat tempat duduk di stasiun Duri, demi datang ke undangan interview. Seru. Pengalaman yang tak terlupakan.
Kupikir nyari kerja gampang, ternyata cukup unik, apalagi waktu itu aku hanya berbekal surat kelulusan karena ijazah belum sampai di tangan, ditambah lagi statusku fresh graduate. Perusahaan kebanyakan lebih tertarik dengan mereka yang berpengalaman. Duh pak bapak, bu ibu, gimana kita-kita dapat pengalaman kalau nggak mau nerima fresh graduate. Alhasil aku nyangkut di salah satu perusahaan berbasis Perbankan di Kota Bogor. Sebagai langkah awal aku mencoba berkontribusi di sana berharap dapat pengalaman.
Eh terus sama suami kelanjutannya gimana?. Sampai sini sih nggak ada kelanjutan apa-apa, kami hidup dengan kesibukan masing-masing. Aku sempat ganti nomor ponsel dan dia juga tahu karena semua kontak yang ada di ponselku kuberitahu. Kami sesekali bertukar pesan seperlunya, jika memang ada hal-hal yang perlu ditanyakan saja.
Kabar terakhir yang kutahu yaitu suamiku sepertinya sudah punya pacar. Terlihat dari postingan status di akun LINE. Fyi, kami sudah mulai mengenal android ya, hehehe. Hal itu kujadikan sebagai warning untuk benar-benar jaga jarak dengan suami. Maklum aku juga pernah disangka orang ketiga hanya karena pernah nebeng di motor teman saat pulang ke kostan, kebetulan searah. Mungkin harusnya aku izin dulu ke pacar temanku. Sungguh rumit sekali dunia perasmaraan ini.
Oh iya berhubung suamiku sudah punya pacar, jadi ceritanya sampai sini dulu ya. Nanti kelanjutannya di next diary. See you.
Komentar
Posting Komentar