Assalamu'alaykum, Diaris.
Bulan lalu aku sempat dibuat khawatir oleh anakku yang masih balita, usianya baru satu tahunan lah ya. Pasca imunisasi anakku sempat terkena batuk, pilek, hingga demam. Demamnya tiga hari, sedangkan batuk pileknya sampai dua minggu baru sembuh total. Memang aku nggak kasih obat apa-apa. Setahuku batuk pilek akan sembuh dengan sendirinya selama tidak ada gejala lain yang menyertai.
Alhamdulillaah, setelah dua minggu lamanya, akhirnya anakku sembuh. Namun, tak berhenti sampai disitu, dua hari berikutnya anakku terkena diare. Awalnya aku nggak begitu khawatir karena hal tersebut sering dialami anakku, apalagi saat tumbuh gigi seperti sekarang ini. Berdasarkan informasi yang kudapat dari beberapa artikel kesehatan, tumbuh gigi menjadi salah satu penyebab diare pada balita karena produksi jumlah air liur yang lebih banyak dari biasanya, sehingga air liur tersebut banyak tertelan oleh balita. Hal itu membuat tekstur feses balita menjadi lebih lembek dan berlendir.
Berdasarkan pengalamanku diare yang disebabkan oleh tumbuh gigi biasanya tak berlangsung lama, sedangkan kali ini hampir dua minggu diare yang dialami anakku belum membaik juga. Sebagai orang tua pastilah khawatir, ditambah lagi nafsu makan anakku belum kembali pasca bapil sebelumnya. Aku berdiskusi dengan suami untuk memberinya susu formula sebagai asupan tambahan, meski masih kuberi ASI. Saat itu aku nggak kepikiran takut anakku alergi susu sapi karena aku juga pernah memberinya susu sapi waktu anakku baru lahir, kebetulan waktu itu ASIku masih seret.
Sufor yang aku pilih berbeda dengan sufor yang pernah kuberikan saat anakku masih bayi. Aku memilih sufor khusus yang mendukung pertumbuhan anak. Katanya, sufor ini juga bisa menambah nafsu makan anak sehingga berat badannya bertambah. Begitu kata mereka yang pernah bermasalah dengan berat badan anak. Wah cocok nih untuk anakku yang nafsu makannya belum kembali seperti semula.
Hari itu aku coba memberinya sufor yang telah kupilih . Kuberi 100 ml sebagai perkenalan. Rasanya enak saat kuicip, wangi juga. Kurasa anakku bakal suka, tapi ternyata anakku tidak begitu antusias. Dia hanya minum 50 ml saja, itu pun sambil bergidik seperti geli. Mungkin anakku belum terbiasa. Tak apa, tak masalah. Justru yang jadi masalah adalah feses anakku berubah jadi warna coklat dalam jumlah yang sangat sedikit. Kukira anakku sembuh dari diare, tapi keesokan harinya kudapati lendir dan bercak darah pada feses anakku, aku jadi panik.
Awalnya kupikir karena alergi sufor yang aku berikan. Mungkin anakku nggak cocok. Namun, setelah kuhentikan pemberian sufornya, lendir dan bercak darah masih ada di feses anakku. Makin panik aja, tapi aku mencoba tetap tenang, ditambah lagi melihat anakku yang masih aktif, ceria, masih mau makan dan minum, bahkan tak ada gejala lain yang menyertai, misalnya seperti demam atau tampak kesakitan saat buang air besar.
Daripada aku menerka-nerka penyebab feses anakku berlendir dan berdarah seperti yang kubaca di internet, akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke DSA (Dokter Spesialis Anak) yang biasa menangani anakku. Hmmm.. semakin besar anakku, semakin rempong pula anakku diperiksa dokter. Anakku sudah paham dan hafal tempat dimana dia biasa imunisasi, sehingga saat melewati pintu masuk rumah sakit, anakku auto balik kanan sambil nangis. Sepertinya dia ingin pulang kalau bisa. Lucu juga sama tingkahnya.
Dengan sedikit drama, akhirnya anakku diperiksa oleh DSA setelah sebelumnya kuceritakan semua yang dialami anakku. DSA mendiagnosa bahwa anakku terkena disentri atau infeksi saluran cerna, beliau juga menyarankan cek lab untuk feses anakku agar diketahui penyebab infeksinya. Sebelum pulang, DSA memberikan surat rujukan laboratorium dan memintaku untuk mengambil botol kecil sebagai tempat menyimpan sampel feses. DSA juga meresepkan obat berupa antibiotik, probiotik, dan zinc. Namun, beliau menyarankan agar obat tersebut diberikan setelah hasil lab keluar, kecuali zinc diperbolehkan diberikan meski hasil lab belum keluar.
Baru saja kami sampai rumah, anakku BAB. Suamiku langsung gerak cepat mengambil sampel feses dan memasukannya ke dalam botol kecil yang telah disediakan. Kenapa mesti gerak cepat karena petugas laboratorium meminta sampel feses yang benar-benar baru keluar dari anus, bukan feses yang sudah menyentuh permukaan pampers atau celana. Suamiku langsung berangkat lagi ke rumah sakit karena sampel feses harus segera diperiksa, tidak boleh lebih dari satu jam.
Kurang lebih satu jam kemudian hasil lab keluar dengan hasil saluran cerna anakku terkena infeksi bakteri dan amuba, tapi anehnya di sana tidak terdeteksi darah pada feses. Memang sih darah yang keluar pada feses anakku tidak begitu banyak, hanya berupa bercak sehingga tidak melumuri seluruh bagian feses. Mungkin feses yang diperiksa tidak terkena darah.
Selama satu minggu anakku mengonsumsi obat yang telah diresepkan oleh DSA. Alhamdulillaah nggak ada drama, mungkin karena obatnya nggak pahit kali ya. Diarenya juga berkurang, tidak sesering sebelumnya, sehari paling banyak tiga kali dia BAB, nafsu makannya pun perlahan kembali lagi. Namun, aku masih khawatir karena bercak darah pada feses anakku belum hilang juga, mana antibiotiknya sudah habis. Sebenarnya minggu ini adalah jadwal anakku vaksin hepatitis A, tapi melihat kondisi anakku yang belum stabil benar, akhirnya minggu ini kubawa lagi anakku ke DSA untuk kontrol.
Tak perlu kuceritakan seperti apa drama yang terjadi, yang pasti anakku berhasil diperiksa lagi. DSA membaca ulang hasil lab minggu kemarin, lalu beliau bilang bahwa penyebab feses berlendir dan berdarah pada anak itu kemungkinannya memang ada dua, karena adanya infeksi oleh bakteri atau amuba, persis dengan hasil lab. Jika penyebabnya bakteri biasanya disertai gejala penyerta lain, misalnya demam, rewel, dehidrasi, atau tampak seperti kesakitan, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh amuba memang jarang, bahkan tidak ada gejala penyerta lain. Nah ini yang terjadi pada anakku, tanpa gejala penyerta lain.
Akhirnya kami dibekali lagi resep antibiotik dan anti amuba. Tak lupa juga DSA berpesan bahwa selama pengobatan, anakku tidak diperbolehkan mengonsumsi produk susu yang mengandung laktosa, serta tidak mengonsumsi makanan yang berserat, seperti sayur dan buah. Dalam memberikan obat anti amuba butuh sedikit perjuangan, anakku tak jarang memalingkan muka, membuat penolakan. Memang sih aromanya agak sedikit menyengat dibanding zinc dan antibiotik.
Setelah minum obat anti amuba, anakku jadi nggak BAB seharian. Awalnya panik sih, takut sembelit karena efek samping seperti yang kubaca pada kemasannya, tapi kucoba tetap tenang. Sampai esok harinya anakku kembali BAB. Alhamdulillaah kali ini BABnya tampak normal seperti sediakala, tak ada lagi bercak darah di sana. Anakku sembuh total sampai sekarang. Ternyata penyebabnya adalah infeksi amuba.
Entahlah itu amuba datang dari mana, perasaan aku sudah berusaha untuk hidup bersih dan sehat, tapi qodarulloh semua atas kehendakNya, yang penting jangan panik saat terjadi sesuatu pada kesehatan anak, segera periksakan ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Semoga bermanfaat ya Diaris. See you.
Komentar
Posting Komentar