Bismillaahirrahmaanirraahiim
Aku
terlahir sebagai individu dengan kepribadian tertutup. Tidak mudah
berkomunikasi dengan orang lain, tidak menyukai keramaian pula. Namun, bukan
berarti aku anti sosial. Aku masih mau berbaur dengan orang lain, aku juga
memiliki banyak teman. Aku hanya tipe orang yang bicara seperlunya, lebih
senang menyimpan perasaan sendiri karena aku sulit percaya dengan orang lain.
Aku tipe orang yang tidak mudah akrab dengan orang baru sebelum aku benar-benar
mengamati orang tersebut dengan baik. Mungkin banyak yang bilang bahwa aku
seorang introver.
Menjadi
seorang introver sepertiku memang
cukup berat walaupun ku rasa nyaman. Ketidakpercayaanku terhadap orang lain
memaksaku untuk selalu menyimpan perasaan dan berusaha menyelesaikan
permasalahan sendiri. Apalagi di saat aku mulai menginjak usia remaja. Mungkin
ini yang dinamakan masa puber, masa dimana aku mulai memiliki ketertarikan
terhadap lawan jenis, masa dimana akhirnya aku mengenal pacaran tanpa
sepengetahuan orangtuaku karena mereka sangat menentang keras akan hal itu.
Saat itu banyak permasalahan-permasalahan yang muncul, misalnya merasakan
pertama kali patah hati karena putus cinta, diselingkuhi, serta permasalahan
serupa lainnya yang sering dialami remaja pada umumnya yang mana semuanya
membuat hidupku berubah. Prestasiku mulai menurun, julukan si nomor satu tak
lagi terdengar, semangat belajarku mulai menghilang. Pacaran membuat titik
fokus terhadap belajar menjadi teralihkan. Emosi yang selalu naik turun
membuatku tak mampu menyelesaikan masalah yang mungkin tampak sepele itu. Ingin
cerita untuk sekedar meluapkan emosi, tapi tak bisa sekalipun kepada orang
terdekat, orangtuaku.
Menulis di buku diary merupakan salah satu cara mengusir kegusaran hati. Ku ungkapkan
segala rasa di buku itu. Meski tak mudah mengusir kegusaran, setidaknya emosiku
mulai sedikit tenang. Buku dan pena hanyalah benda mati yang mungkin bagi
sebagian orang tak berarti apa-apa. Namun, keduanya bagiku sangat berpengaruh
untuk menetralisir segala rasa dan asa yang berkecamuk dalam dada. Sebenarnya
dari kecil aku memang senang menulis diary,
entah sudah berapa banyak buku diary
yang ku punya dengan isi ragam kisah pengalamanku. Sometimes aku juga menulis cerita pendek yang aku karang sendiri
berdasarkan imajinasiku. Selain menulis, aku juga suka membaca, baik karya
fiksi maupun non fiksi. Namun, tak seintens menulis.
Seiring
berjalannya waktu, masuklah di era digital ini dimana aku mulai mengenal social media, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Blog tentunya. Dari buku diary, aku mulai beralih ke sosmed
dengan harapan bisa berbagi perasaan dengan orang lain di sana. Aku mengekspresikan
segala rasa, mendapatkan feedback dari
teman sosmed yang mungkin tengah mengalami situasi yang sama, atau hanya
sekedar memberi saran padaku. Sosmed kini menjadi tempat sharing bagiku. Perlahan aku menemukan ada kesalahpahaman yang
terjadi dalam diri ini. Sempat ku hakimi diri ini dengan mengatakan bahwa aku
tak suka berbagi cerita dengan orang lain. Namun, faktanya aku menikmati forum
kecil yang tak sengaja ku ciptakan melalui postingan-postingan di Facebook. Bukan ku tak suka bercerita,
hanya saja aku kesulitan mengutarakan isi hati lewat ucapan, aku memang
memiliki kelemahan dalam komunikasi sehingga terkadang orang lain sulit
memahami apa yang ingin ku sampaikan, sehingga dengan sisi egois yang ku punya,
aku lebih memilih untuk mengakhiri perbincangan tanpa menjelaskan detail kepada
lawan bicara. Berbeda dengan menulis, aku bisa berpikir terlebih dahulu lalu
merangkai kata supaya orang lain mengerti apa yang ingin ku sampaikan.
Setelah
Facebook, aku mulai berkenalan dengan
Blog. Di sana aku mulai mencoba membuat
suatu karya. Kini perasaanku tak hanya sekedar perasaan yang di posting di Facebook, ku coba mengubahnya dalam
bentuk artikel atau cerita pendek dengan harapan bisa menghibur dan memotivasi
orang lain. Aku menuliskan apa yang ingin ku tulis tanpa peduli penggunaan tata
bahasa, tanda baca, atau apapun yang berhubungan dengan sistematika penulisan.
Aku hanya menyampaikan opini, mengungkapkan perasaan dalam bentuk artikel atau
cerpen, yang penting isinya menarik dan mengandung motivasi, pikirku saat itu.
Cukup
lama aku berkutat di dunia Blog
sampai akhirnya aku memiliki pembaca setia walaupun jumlahnya bisa dihitung
jari. Namun, itu masih belum cukup. Keinginan untuk mengenalkan karyaku kepada
khalayak ramai semakin hari semakin menggebu-gebu. Aku tak ingin karyaku hanya
dibaca oleh sahabat sosmedku saja. Aku mencoba browsing di internet tentang event
lomba menulis. Banyak. Namun, info lengkapnya mayoritas ada di Instagram. Aku yang awalnya tak ingin
bermain di Instagram karena menurutku
kurang berfaedah akhirnya terpaksa membuat akun instagram demi mengembangkan
karya-karyaku. Menarik. Aku baru sadar kenapa banyak orang yang menggunakan Instagram, ternyata isinya memang
menarik dan cakupannya luas, hampir menyaingi Facebook. Dengan akun @id_soleha9
aku mulai menjajaki Instagram,
mencari informasi mengenai event
lomba menulis yang begitu banyak ku temui. Aku mengikuti beragam lomba menulis
dengan penuh percaya diri, mulai dari yang free
sampai berbayar. Namun, dari sekian banyak lomba yang ku ikuti belum ada satu
pun yang berhasil. Sedih? Kecewa? Tidak. Aku tidak merasakan keduanya karena
tujuan awalku mengikuti lomba itu hanya untuk mengenalkan karyaku kepada lebih
banyak orang.
Dari
banyaknya kegagalan yang ku terima, aku menjadi lebih semangat untuk menulis.
Aku mulai membawa note kecil
kemana-mana untuk sekedar mencatat jika
sebuah ide muncul di waktu dan tempat yang tidak tepat. Setidaknya aku mencatat
ide tersebut sebelum akhirnya ku rangkai menjadi sebuah karya. Ide itu mahal
dan langka. Jika tak segera dicatat ide itu akan hilang dengan mudahnya,
kemungkinan untuk mengingatnya kembali sangat kecil. Selain membuat catatan di note, aku juga merecord ide yang muncul di ponsel supaya lebih mudah dan praktis.
Berawal
dari kegagalan ini aku berpikir, apa yang membuatku gagal? Apakah ceritanya
kurang menarik? Atau bahasanya yang berantakan? Tanda bacanya yang tak
beraturan? Entahlah, aku tak tahu karena tak ada yang memberitahuku dimana
letak kesalahannya. Aku mulai mencari referensi tentang sistematika menulis di
internet, akun Instagram seorang
penulis, atau dari buku-buku yang ku punya, baik fiksi maupun non fiksi. Dulu,
aku membaca buku hanya untuk sekedar hiburan saja dengan menikmati isi cerita
yang disampaikan penulis dalam buku itu. Namun, sekarang berbeda. Aku membaca
buku penuh dengan kehati-hatian, banyak yang harus diperhatikan mulai dari isi
cerita, gaya bahasa, penggunaan tanda baca, dan semua yang mencakup unsur
intrinsik dan ekstrinsiknya.
Usahaku
untuk mengembangkan karya tulisanku tidak cukup sampai di situ saja. Aku ingin
belajar menulis yang baik dan benar karena aku bukan seorang lulusan sastra,
aku orang awam yang hanya mengandalkan hobiku semata. So aku mencoba mengikuti kelas menulis yang salah satunya adalah
komunitas “NulisYuk”, mulai dari yang free
sampai yang berbayar. Aku suka dengan komunitas ini, cara belajarnya serius
tapi santai. Aku tipe orang yang cukup pemilih. Aku tak ingin sia-sia dalam
memilih segala sesuatu Awalnya aku mengikuti kelas menulis di komunitas ini
tanpa berbayar, aku ingin mengamati terlebih dahulu bagaimana sistem belajarnya
yang ternyata cukup nyaman. Hingga akhirnya aku berani mengikuti kelas
berikutnya yang berbayar. Maklum penganut anti rugi, nyicip dulu baru beli
(jangan ditiru ya friends, hehehe).
Mungkin
saat ini aku belum memperoleh hasil yang baik dari hobi yang ingin ku
kembangkan. Ini adalah langkah awal, sangat awal. Aku tak peduli dengan
sebagian orang yang mungkin meremehkan hobiku ini, ngapain sih nulis? Untuk apa
menghabiskan waktu dengan menulis yang belum tentu bisa menghasilkan? Mending
bisnis yang pasti-pasti saja, yang lebih mudah terlihat hasilnya. Whatever they said, I don’t care about that. Aku menulis bukan untuk mencari uang, tapi
menulis adalah hobiku. Menulis adalah sebuah keharusan, sebagai penghilang
depresi karena aku bisa mengekspresikan emosi di sana. Menulis melatihku
memperkaya kosa kata sehingga membantuku dalam kelancaran berkomunikasi yang
menjadi kelemahanku selama ini. Masih banyak lagi manfaat menulis yang bisa
dirasakan.
Aku
bukan seorang anak sastra atau penulis, bahkan cita-citaku dari kecil adalah
menjadi seorang guru. Aku hanya seseorang yang memiliki hobi menulis dengan
impian kelak tulisanku dibukukan sebagai jejak bahwa aku pernah membuat karya.
Namun, impian terbesarku yaitu karyaku bisa dinikmati oleh banyak orang dan
bisa memberikan energi positif bagi para pembacanya.
Ok
friends, mungkin itu saja yang bisa
aku ceritakan tentang hobi menulisku. Mudah-mudahan bisa bermanfaat. Mohon maaf
bila banyak kesalahan dalam penulisannya. Semangat menulis, friends….
Wassalamu’alaikum.
Komentar
Posting Komentar