September 2012
Aku jadi mahasiswa?
Uuuuuhhh ada kebanggaan tersendiri waktu itu. Padahal kalau diperhatikan, apa
yang bisa dibanggakan? Aku hanya lolos test masuk salah satu Perguruan Tinggi
di Kota Bogor, swasta pula dan bukan PTS favorit, ditambah lagi biayanya
ditanggung orangtua, so apa yang
harus dibanggakan? Entahlah, yang pasti waktu itu aku bahagia karena sebentar lagi
statusku menjadi mahasiswa merangkap anak kost yang mana akan terlihat keren bak
di cerita-cerita sinetron (korban ftv kali yaaaa).
Selesai menjalankan
ospek selama seminggu. Akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa yang katanya keren
itu. Dengan mengenakan stelan white
blouse dan blue jeans, black flat
shoes, white cardigan, handbag yang isinya cuma seperangkat file/binder dan
beberapa ballpoint, dengan rambut bob pendek, aku berjalan kaki dari kostan
menuju kampus. Ya, ini adalah hari pertamaku menjadi mahasiswa.
Di hari pertama itu
aktivitasnya seperti sekolahan pada umumnya. Aku masuk kelas, bertemu dengan
teman-teman baru, berkenalan dengan wali kelas juga dosen-dosen yang nanti akan
mengajar di kelasku, lalu pemilihan komti (komandan tinggi ) kelas atau kalau
di sekolah disebutnya ketua kelas. Pokoknya selama seminggu itu kita belum
melakukan perkuliahan secara efektif karena masih dalam suasana perkenalan dari
masing-masing dosen. Setiap dosen menginformasikan cara mengajar mereka masing-masing
serta apa saja yang harus dibawa pada jam mata kuliah mereka, misalnya harus
punya buku panduan atau harus punya ballpoint merah, kalau telat masuk kelas
dikurangi nilai, atau untuk mata kuliah agama mahasiswi diwajibkan pakai
jilbab, dan sebagainya.
Di minggu kedua barulah
kita mulai perkuliahan yang cukup kondusif. Tugas-tugas kelompok maupun
perorangan mulai bermunculan, dari yang dianggap mudah sampai yang rumit pun
ada. Ditambah lagi jam kuliah yang kurasa tidak beraturan, misalnya masuk pagi
jam 8, jam 11 break ga ada jadwal,
lalu masuk lagi jam 2 siang waktunya orang-orang tidur siang mager keluar
panas-panasan. Ulala… mungkin aku belum beradaptasi dengan dunia kuliah yang
sesungguhnya. Kadang aku ingin kembali ke masa sekolah yang mana jam 2 itu
waktunya bubar kelas bukan masuk kelas. Ditambah lagi kalau misalnya ikut
kegiatan kelembagaan yang mana rapat mulu, rapat lagi. Aku sih nggak ikutan,
tapi bukan berarti aku pemalas atau apalah melainkan karena aku anak rantau
yang mana kalau ada kesempatan libur dituntut untuk mudik, sedangkan aktivitas
hima-himaan itu sering melibatkan hari libur, so daripada aku grecokin dan jadi manusia yang tak bertanggungjawab
lebih baik aku jadi kupu-kupu aja (kuliah-pulang-kuliah-pulang). Disitulah aku
mulai sadar betapa aku tidak keren sama sekali, dan fakta dari kuliah atau
menjadi mahasiswa itu tak seindah seperti di sinetron-sinetron yang mana
mahasiswa-mahasiswanya lebih sering disibukan dengan main keluyuran dan
pacaran.
“Sa, makan di kostan lu
yuk…” ajak Tania padaku. Oh iya, aku mau kenalan dulu namaku Ilsa Destia. Di
rumah aku biasa dipanggil Ica, mayoritas teman-teman sekolahku juga manggilku
Ica. Hanya di kampus tepatnya di Kota Bogor aku lebih senang dipanggil nama asliku Ilsa. Kenapa?
Karena nama Ica itu pasaran bahkan ada yang nama aslinya Rita tapi panggilannya
Ica, kan aneh toh? aku pun tak mengerti kenapa aku dipanggil Ica. So untuk
mengurangi populasi Ica, biar aku yang mengalah, intinya biar aku nggak kegeeran sih karena pernah suatu hari aku dengar seseorang memanggil "Ica" yang kupikir itu aku padahal ternyata Ica yang lain. Itu tentang Ica, sekarang tentang
kostanku yang kini sudah menjadi basecamp
teman-teman dekatku di kampus. Mereka lebih sering menghabiskan waktu kosong
menunggu jam masuk kelas selanjutnya di kostanku sambil makan siang, ngerjain
tugas, belajar buat ujian, atau bahkan untuk tidur siang, kadang pulang kuliah
juga mereka senang nongkrong dulu di kamarku sebelum pulang ke rumah
masing-masing.
“makan apa? Tanyaku
balik.
“warteg deket kostan lu
aja, biar hemat.” Usul Tari sambil cengengesan. Ya, Tari emang hobi beli makan
di warteg deket kostanku karena harganya yang merakyat abis. Aku, Juwita, dan
Caca seperti biasa jalan kaki ke kostan, sedangkan Tania biasa nebeng motornya
Tari, tapi kadang kita berlima jalan kaki.
Entah kenapa kita
berlima jadi seakrab ini. Kemana-mana selalu berlima, maen berlima, belajar
berlima, meski begitu bukan berarti kita ga peduli sama yang lain. Kita juga
berbaur, kalau misalnya tugas kelompok kita juga berpencar, ngga selalu
berlima. Tapi untuk urusan di luar kampus kita emang nyaman berlima, sampai-sampai
tiap semester setelah UTS kita buat agenda jalan-jalan bareng. Seperti semester
pertama kita ke Kebun Raya padahal cuma makan-makan aja di sana. Semester dua
kita ke Taman Bunga Nusantara sekalian makan nasi liwet di rumah Juwita, dan
begitu seterusnya. Aku jadi teringat kisah persahabatanku dulu waktu sekolah
yang awalnya akrab banget sampai akhirnya renggang dengan sendirinya dan sampai
saat ini belum diketahui penyebab utamanya apa, hingga sesekali rasa takut
menggelayut dibenakku.
Diantara kita berlima
sepertinya hanya aku yang tidak punya pacar. Dan betul sekali dugaanku. Tak perlu
aku menginterogasi mereka karena aku sendiri bisa menebaknya dengan melihat
Tania yang sering nongkrong cantik di kostanku sepulang kuliah untuk menunggu
jemputan dari si pacar. Juwita yang sering ke-gap asyik chating dengan pacarnya. Tari yang sering merayakan weekend dengan si pacar. Nah kalau
dengar dari ceritanya Caca kayaknya suka gonta-ganti pacar deh atau mungkin
pacarnya banyak? Dia suka cerita dengan sendirirnya. Entahlah, terserah, yang
penting kita semua bahagia dengan keadaan yang ada dan sejauh itu aku juga
tidak merasa terganggu dengan pacar-pacar mereka, dan mereka juga nggak
mempermasalahkan kenapa aku nggak punya pacar, malah terkadang bathinku sendiri
yang mempermasalahkan diriku sendiri.
Ya, kembali lagi bahwa
aku adalah seorang manusia yang pasti memiliki naluri ingin disayangi dan
dicintai atau bahasa kasarnya ingin punya pacar juga biar sama kayak yang lain,
supaya kalau ada undangan nggak harus pusing nyari temen, supaya ada yang antar
jemput, supaya ada yang kasih perhatian selain orangtua, begitulah pikiranku
saat itu. Tapi sayangnya aku udah terlanjur berjanji pada diriku sendiri untuk
tidak berpacaran selama kuliah. Aku ingin lulus tepat waktu dengan cumlaude, minimal ngga ada nilai C. Aku
ingin fokus sampai lulus, aku nggak mau seperti waktu sekolah dulu yang mana
nilai-nilaiku banyak yang anjlok semenjak mengenal pacaran, aku selalu
kehilangan konsentrasi belajar, itu salah satu kelemahanku yang payah. Aku
nggak mau semua itu terjadi lagi di bangku kuliah karena aku tahu bahwa biaya
kuliah itu nggak sedikit ditambah lagi aku bukan orang yang memiliki kecerdasan
luar biasa yang banyak ditawari beasiswa sana-sini, aku hanya mahasiswa biasa
yang hanya mengandalkan uang orangtua dan aku belum bisa memberi apa-apa untuk
mereka selain dengan tidak mengecewakan mereka berdua.
“Daripada disibukan
dengan pacaran, lebih baik aku disibukan dengan belajar, memperbaiki diri agar
nampak baik dihadapanNya, berbakti kepada orangtua yang mana baktiku kepada
mereka masih jauh dari kata cukup, tak perlulah aku mengharap cinta kasih dari
orang lain karena cinta kasih dan perhatian orangtuaku pun sudah lebih dari
cukup, yang harus aku harapkan adalah cinta dari Sang Maha Pemilik Cinta itu
sendiri.” Kalimat itu yang sampai saat ini masih menjadi benteng pertahanan
bathinku untuk melawan keinginan-keinginan yang berasal dari hawa nafsu.
Mungkin ada yang
menilai aku ini sok suci, sok benar, sok nggak mau pacaran dulu padahal mungkin
nggak ada yang mau, wkwkwk. Ya, aku pun bahkan sempat menilai diriku seperti
itu, aku sempat berpikir apakah aku berkata seperti itu betul-betul dari hati
atau hanya untuk mengobati hati yang sepi tanpa kekasih (eaaaaaaaaakkkk). Semua
dugaan itu terjawab ketika ada seorang laki-laki yang secara terang-terangan
memintaku untuk menjadi pacarnya tapi aku menolak dan mengacuhkannya hingga
laki-laki itu pun menyerah dengan sendirinya.
“Yes !!!! aku berhasil
memegang komitmenku.” Ujarku. Tak lama dari laki-laki itu, ada lagi laki-laki
yang malah mengajakku untuk menikah, dia memaksa ingin datang ke rumahku untuk
bertemu dengan orangtuaku. Tapi, saat itu usiaku yang masih sekitar 21 tahun
belum kepikiran untuk menikah, ditambah lagi dia itu orang luar Jawa, so pikiranku sudah melanglangbuana jauh
memikirkan kalau seandainya aku menikah dengannya aku pasti harus ikut
dengannya. Akhirnya perlahan aku menjauhi orang itu dan sepertinya dia pun
mencium bau-bau penolakan dariku. Maafkan aku, semoga kamu mendapatkan istri
yang soleha.
Ok, kembali lagi
menjadi seorang mahasiswa yang ternyata tak seindah yang dibayangkan. Menurutku
mahasiswa itu adalah mahanya siswa yang mana derajatnya lebih tinggi dari siswa
sekolahan. Eits, maksud derajat di sini bukan masalah golongan di masyarakat ya
melainkan derajat pemberian tugasnya yang maha dahsyat. Setiap hari pasti ada
tugas ini dan itu, mulai dari membuat makalah, presentasi, hitung-menghitung,
praktek lab, dsb yang mana semuanya berdeadline.
Kadang aku lelah banget, apalagi kalau udah dapet tugas membuat makalah atau
laporan atau membuat power point
untuk bahan presentasi yang mana semuanya memerlukan laptop, sedangkan saat itu
aku belum punya laptop, so aku harus pinjam laptop teman kostanku.
Terpaksa aku mengerjakan tugasku hamper tengah malam karena menunggu si empunya
laptop kelar ngerjain tugasnya, sedih sih kalau diinget lagi (hiks..hiks..).
Sebenernya aku punya laptop 1 di rumah tapi masih dipakai kakakku yang saat itu
tengah menyusun skripsinya, yaaa gantian gitulah yaa.
Dan lagi berkaca dari
sinetron-sinetron yang sering ku tonton yang mana ketika butuh beli buku ini
dan itu tinggal bilang ke orangtua dan langsung dikasih loh sama orangtuanya.
Tapi aku sih waktu kuliah jarang beli buku. Sekalinya beli itu waktu semester
awal dan itu pun belinya di tukang loak biar murah, selebihnya aku pinjam di
perpustakaan atau buat resume dari
mereka yang punya buku yang penting inti materinya sama kan yaaa. Sebenernya
aku bisa saja minta uang ke orangtuaku untuk beli buku dan aku yakin mereka
pasti memberiku uang, tapi aku tahu biaya kuliah dan biaya hidupku bukan jumlah
yang kecil ditambah lagi uang kost pun dari mereka. Yaa walaupun tidak
mengurangi setidaknya aku berusaha untuk tidak menambah pengeluaran di cash flow mereka. Semakin bertambah
tingkat, dari satu semester ke semester berikutnya maka semakin bertambah pula
biaya yang dibutuhkan sampai akhirnya aku memutuskan untuk jual pulsa yang mana
hasilnya alhamdulillaah bisa membantu sedikit demi sedikit kebutuhan kuliahku
sampai akhirnya aku lulus tepat waktu dengan hasil yang memuaskan dan tanpa pacaran
pastinya (hehehe). Barokallooh, Alhamdulillaah…
Ok friends, itu sepotek kisah aku sewaktu jadi mahasiswa yang awalnya
ku bayangkan itu seperti di sinetron-sinetron yang sering menampakan karakter
tukang bolos masuk kelas, tukang keluyuran ngabisin duit orangtua, sibuk
pacaran, dan sebagainya. Sedangkan faktanya kalau bolos masuk kelas ancamannya
dapet nilai CDE lalu pilihannya bisa remedial (ikut ujian ulang) atau ngulang
lagi dari nol biasanya untuk nilai D atau E yang keduanya pakai biaya lagi dan
cukup menyita waktu. Sedangkan untuk keseruannya sih sama seperti di
sinetron-sinetron tapi Alhamdulillah aku tidak mengalami yang namanya bully-bullyan.
So,
menurutku
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi itu perlu ya friends terutama untuku yang agak-agak introvert. Bukan untuk sekedar agar mudah
mencari pekerjaan atau meninggikan derajat di masyarakat, melainkan untuk
menambah wawasan, menambah teman, belajar mandiri, belajar memimpin suatu
forum, belajar communication skill,
discuss, problem solving, dan masih banyak lagi impact dari maenjadi mahasiswa, tapi mahasiswa yang benar-benar
mahasiswa, maksudnya yang tahu dan paham tugas mahasiswa yang sebenarnya.
Ok friends, sekian dari aku, akhirulkalam…
Wassalamu’alaikum..
------------------------------------------see
you on the next story-------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar