Assalamu'alaykum Diaris.
Entah aku yang begitu menikmati, atau memang ada perubahan dalam perputaran waktu sehingga bulan Ramadan terasa begitu cepat berlalu. Perasaan baru kemarin anak balitaku ikut pawai obor, memeriahkan kegiatan tarhib Ramadan, eh sekarang sudah masuk bulan Syawal lagi. Benar-benar singkat.
Aku selalu berharap semoga masih ada kesempatan untuk bisa berjumpa dengan bulan Ramadan berikutnya, menikmati kembali Ramadan bersama keluarga. Tahun ini merupakan bulan Ramadan keempat tanpa Mama, dan lambat laun kami mulai terbiasa dengan kondisi ini.
Sejak kecil, bulan Ramadan adalah bulan yang selalu aku nantikan dengan segala momentumnya, mulai dari suasananya, kegiatannya, dan bentuk-bentuk perayaan menyambut bulan Ramadan. Namun, yang paling sering aku tunggu-tunggu adalah momentum berkumpulnya keluarga. Apalagi saat kakek dan nenekku masih ada, keluarga besar selalu berkumpul dalam satu rumah yang sama, dan kami menikmati suasana Ramadan bersama.
Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi ketika kakek dan nenekku sudah tiada, sudah pasti semuanya berubah. Kami cukup merayakan Ramadan dengan keluarga kecil masing-masing, kemudian saling berkunjung dengan keluarga lainnya, itu pun jika sempat, atau hanya cukup saling sapa via telepon saja.
Dan sekarang, bukan hanya kakek dan nenekku yang tiada, Mama pun sudah tak berada ditengah kami lagi. Suasana Ramadan sudah benar-benar berubah. Hal ini membuat kami yang ditinggalkan perlu beradaptasi. Kami harus terbiasa dengan ketiadaan sosok Mama di antara kami.
Berat, memang berat beradaptasi dengan kondisi ini, terutama Bapak. Namun, hidup harus terus berjalan, perlahan kami pun mulai belajar membiasakan diri dengan kondisi baru kami. Setiap bulan Ramadan, tepatnya menjelang lebaran, kami membuat agenda yang mudah-mudahan selalu menjadi rutinitas yaitu berziarah ke makam Mama.
Menjelang lebaran, seperti biasa, sudah menjadi rutinitasku sejak duduk dibangku SMA hingga kini, sebagai perantau, momentum mudik adalah yang paling aku tunggu-tunggu. Sejak menikah, rumah orang tuaku (rumah Bapak) bukan lagi menjadi satu-satunya tujuan saat mudik. Aku juga mudik ke rumah mertua. Kebetulan rumah Bapak dan rumah mertuaku berada di kecamatan yang sama sehingga cukup memudahkan kami untuk bersilaturahmi. Sedangkan untuk berziarah ke makam Mama,diperlukan waktu 2,5 jam dari rumah Bapak.
Tiga tahun ke belakang ini, setiap menjelang lebaran, kami selalu berziarah ke makam Mama sekaligus bersilaturahmi dengan keluarga lain yang ada di sana, hanya saja tidak dengan tahun ini. Lebaran tahun ini aku tidak berziarah ke makam Mama karena situasi dan kondisi yang belum memungkinkan.
Awal bulan Maret, kembali terjadi bencana alam yang melanda sekitar wilayah Jawa Barat. Daerah Sukabumi, khususnya tanah kelahiranku yang juga lokasi dimana Mama dimakamkan menjadi salah satu daerah yang terdampak akibat bencana alam, bahkan rumah masa kecilku yang Desember 2024 lalu sempat terendam banjir pun kembali terendam lagi. Tak hanya banjir, longsor juga kembali meramaikan situasi. Tak sedikit akses jalan tertutup longsor.
Meskipun menurut informasi yang beredar, menjelang lebaran akses jalan yang tertutup longsor sudah mulai diperbaiki, tetapi cuaca yang tak menentu membuatku merasa ragu untuk melakukan perjalanan ke sana, ditambah lagi kondisi badanku yang kurang fit, belum lagi anak balitaku yang sedang pemulihan pasca diare. Fix, kuputuskan lebaran tahun ini kami tidak berziarah dulu. Mudah-mudahan dilain waktu kami bisa kesana. Kami semua sangat rindu Mama.
Sempat ragu untuk membuat keputusan ini. Bukan, bukan karena takut Mama sedih. Aku yakin Mama sudah tenang di sana. Namun, aku takut dicap sebagai anak durhaka, mengingat dulu tak sedikit kudengar para komentator yang menganggap aku tak peduli ketika Mama meninggal dunia hanya karena aku tak hadir diacara pemakamannya.
Seperti yang pernah kuceritakan di diary sebelumnya bahwa saat Mama meninggal dunia, aku sedang hamil tua yang beberapa hari lagi akan segera melahirkan. Kebetulan dihari-hari terakhirnya, Mama memang sedang berada di rumahku. Kejadiannya sangat singkat.
Saat mendapat kabar dari Bapak yang sedang di Rumah Sakit bahwa Mama meninggal dunia, Bapak memutuskan untuk membawa jenazah Mama pulang untuk dimakamkan di tanah kelahirannya. Aku menangis histeris mendengar kabar itu sambil memaksa untuk ikut mengantar jenazah Mama, tapi Bapak melarangku. Beliau mengkhawatirkan kondisiku yang tengah hamil tua. Begitu pun dengan kakakku yang juga sama melarangku. Sedangkan suamiku terus berusaha menenangkan waktu itu.
Namun, berbeda dengan para komentator di sana yang lebih cenderung menyarankan aku untuk ikut mengantar jenazah Mama. Menurut mereka, tak masalah jika seandainya sampai kontraksi dan melahirkan di sana. Toh tak sedikit bidan-bidan desa yang bisa membantu persalinan, begitu katanya. Memang benar, bidan desa di sana cukup banyak, tapi sayangnya untuk menuju rumah sakit dari rumah Mama itu dibutuhkan waktu satu atau dua jam perjalanan, belum lagi transportasi umum di sana sangat langka sekali. Ya, sebagai jaga-jaga jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Tak ada yang tahu betul dengan kondisiku saat itu selain Alloh SWT, suamiku, dan diriku sendiri. Setiap hari, aku berusaha mewaraskan diri ditengah kesedihan yang mendalam, meski pada akhirnya kesedihan itu memberi efek negatif pada posisi janinku. Mau tidak mau aku harus mengesampingkan egoku, berusaha menutup perlahan rasa sedihku, walau tak mudah.
Tak perlu lagi berlarut dalam kesedihan, memikirkan Mama yang kini berada di sisiNya, biarkan beliau merasa tenang dan nyaman di sana. Yang perlu aku lakukan saat itu adalah menyiapkan diri untuk menyambut calon anggota keluarga baru kami.
Keputusan untuk tidak ikut mengantar jenazah Mama memang keputusan yang benar. Selain karena menjelang HPL (Hari Perkiraan Lahir), aku juga tidak bisa membayangkan akan seperti apa kondisiku jika saat itu berada di rumah Mama dengan segala kenangan dan kenyataan yang harus diterima bahwa Mama sudah tidak ada. Sedangkan di rumahku, meski tak sedikit pula kenangan Mama yang terukir, setidaknya batinku bisa rehat sejenak.
Aku yang sejak SMA sudah tinggal jauh dari orang tua, tidak adanya Mama di rumahku cukup membuat aku beranggapan bahwa Mama sedang tak berkunjung saja, meski setelah menyadari kenyataan yang sesungguhnya tak bisa dipungkiri dadaku langsung sesak dan air mata tak dapat tebendung lagi.
Dua minggu pasca kepergian Mama, aku pun melahirkan. Alhamdulillaah, ditengah kesedihan yang melanda, Alloh SWT selalu membersamai, memberikan kemudahan dalam segala hal, termasuk kemudahan selama proses persalinan sehingga bayiku lahir dengan sehat dan selamat.
Alloh SWT maha adil. Disaat salah satu anggota keluargaku kembali padaNya, Dia datangkan anggota keluarga baru. Selain sebagai amanah yang Dia titipkan untuk kami, Dia juga menjadikannya sebagai pelipur lara bagi kami yang masih bersedih, khususnya aku.
Sebagai new mom, aku jadi punya kegiatan baru yaitu merawat bayi. Aku jadi sibuk dan itu membuat fokusku beralih sehingga tak begitu berlarut-larut dalam kesedihan. Selain sibuk merawat bayi, aku juga fokus memulihkan kondisiku pasca melahirkan yang ternyata tak semulus yang dibayangkan.
Masalah kesehatan mewarnai hari-hariku pasca melahirkan, baik kesehatanku maupun bayiku. Dan bukan hanya masalah kesehatan fisik saja, psikisku pun ikut terganggu. Hal ini yang membuatku belum bisa menampakkan batang hidungku di acara tahlilan Mama. Ya, keluarga kami membudayakan tahlilan atau acara do'a bersama untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia.
Sebelum genap 100 hari kepergian Mama, qodarullah, Alloh SWT memanggil Nenekku, Ibu dari Bapakku. Ibarat luka yang masih basah, kemudian tersayat lagi, itu yang kami rasakan, khususnya Bapak.
Kurasa luka yang Bapak rasakan lebih perih. Beliau baru saja ditinggalkan oleh istri dan ibunya dalam waktu yang berdekatan. Ingin rasanya aku berada di samping Bapak, menemaninya, meski beliau selalu tampak tegar. Namun, apalah daya, fisikku yang belum pulih betul ini hanya bisa menangis dan mendo'akan. Bagaimana bisa aku menemani, jika aku sendiri masih perlu ditemani.
Bukan hanya kesedihannya saja yang bercabang. Kepergian Nenekku membuat fokus Bapak terbagi. Bapak harus bolak-balik, antara rumah Mama dan rumah Nenek yang sama-sama mengadakan acara tahlilan. Dan lagi aku kembali menjadi perbincangan diantara para komentator karena aku belum bisa hadir di acara tahlilan 100 hari Mama, bahkan mungkin juga tak hadir di acara pemakaman Nenekku. Bapak tidak pernah mempermasalahkan hal ini, begitu pun dengan kakakku. Mereka hanya ingin agar aku segera pulih dan selalu sehat
Saat itu para komentator mengkhawatirkan acara tahlilan 100 hari kepergian Mama, mengingat Bapak juga masih sibuk di rumah Nenek. Ditambah lagi kakakku yang biasa hadir, saat itu ada keperluan lain yang mendesak sehingga tak bisa mengikuti acara tahlilan 100 hari kepergian Mama. Akhirnya para komentator ini secara tak langsung memintaku untuk datang sebagai perwakilan dari keluarga inti.
Seperti yang telah kuceritakan bahwa kondisiku saat itu belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan yang tak sebentar. Sebagai new mom, aku juga mengkhawatirkan kondisi bayiku yang mana aku ragu jika harus membawanya ke sana, banyak pertimbangan. Entahlah, komentar apa yang mereka utarakan selanjutnya setelah aku menjelaskan bahwa aku belum bisa kesana.
Saat itu aku sering diliputi rasa bersalah, menghakimi diri sebagai anak durhaka hanya karena aku belum mengunjungi makam Mama sejak kepergiannya, ditambah lagi mendengar omongan para komentator yang hanya bisa berkomentar dengan segala sudut pandang mereka.
Lama-lama perasaan tersebut benar-benar menjadi toxic, mengganggu mentalku. Namun, aku masih memiliki kewarasan saat melihat anak bayiku yang perlu kurawat dan kubesarkan dengan penuh kasih sayang. Anak bayiku lebih membutuhkan perhatianku dimasa tumbuh kembangnya. Sedangkan Mama sudah tenang disisiNya. Tak perlu kumerasa bersalah hanya karena mendengar ocehan para komentator. Itu bukan salahku.
Mungkin bagi para komentator, aku tampak seperti anak durhaka yang tak peduli dengan orang tuanya. Namun, yang kutahu, ada tiga perkara yang akan menemani seseorang saat di alam qubur, yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang berguna, serta do'a anak yang soleh. Mama adalah orang yang baik, senang memberi, tak hanya pada keluarganya, melainkan pada orang lain juga. Mama juga pergi dihari dan kondisi yang baik. In Sha Alloh, husnul hotimah. Kurasa tidak hadirnya aku selama prosesi pemakaman hingga acara tahlilan, tidak membuat mama bersedih di sana.
Aku hanya perlu selalu mendo'akannya dan berusaha untuk menjadi manusia yang baik. Meski aku masih jauh dari kata anak soleh, tapi aku berharap masih ada perbuatanku yang bernilai baik dimata Alloh SWT yang bisa menjadi amal jariyah untuk Mama yang telah mengasuhku. Dan untuk mendo'akan, tak harus di atas makamnya, dan juga tak perlu orang lain tahu seberisik apa aku berdo'a, termasuk para komentator yang menurutku tak perlu tahu urusanku. Biarlah mereka berkomentar dengan sudut pandang mereka masing-masing. Terlalu lelah rasanya hidup berdasarkan standar orang lain.
Meskipun lebaran tahun ini ragaku tidak berkunjung ke makam Mama, tapi aku selalu berdo'a, semoga do'a-do'a kami selalu berkunjung ke sana setiap waktu. Dan yang paling penting, semoga bulan Ramadan yang telah kita lewati bisa merubah kita menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf lahir dan batin. Terima kasih telah membaca diaryku.
Komentar
Posting Komentar