The Last Relationship
The Last Relationship
Oleh : Ilsa
Destiana
Kriiing….
Kriiiiing… dering ponselku sukses membuyarkan
part-part yang tengah aku saksikan dalam mimpiku barusan. Aku
terperanjat ketika melihat ponselku
menunjukan pukul 05.35 wib tapi segera tenang kembali saat aku sadar bahwa aku
sedang berhalangan. Aku bersyukur alarmku berbunyi sehingga aku tidak terbawa
perasaan atas apa yang barusaja aku alami di mimpiku. Mimpiku tentang seseorang
yang berasal darisebagian masa laluku tepatnya 7 tahun yang lalu.
Desember
2010
Aku
yang masih SMA saat itu, mungkin juga baru mengenal seperti apa kisah yang
sewajarnya dialami oleh anak SMA. Seperti apa rasanya punya pacar yang mungkin
bisa dibilang wajar oleh sebagian orang. Sebetulnya aku sudah berpacaran ketika
masih duduk di SMP tepatnya kelas IX, aku pernah pacaran 3 kali waktu SMP (jangan ditiru) dan rasanya sama, biasa saja
tak ada yang istimewa dan berujung sakit
hati karena mserasa dikhianati. Dan aku merasakannya lagi di SMA, ku harap ini
yang terakhir.
Namanya
Dirga. Aku mengenalnya karena kami berada di salah satu organisasi siswa yang
sama di Sekolah tepatnya aku dikenalkan oleh sahabatku yang bernama Rahayu.
“ada
yang mau kenal kamu Cha. Aku sudah kasih nomor kamu ke dia. Tapi tenang saja,
dia orang baik dan aku kenal dia.” Begitu kata Ayu. Awalnya aku hanya tak ingin
dicap sebagai orang sombong, sok jual mahal, atau jutek yang sering orang
katakana padaku apalagi Ayu kenal dengan dia dan itu membuat rasa takut yang
ada dibenakku hilang. Dan benar saja malamnya ponselku berdering, satu buah
pesan singkat masuk.
“Assalamu’alaikum..”
begitu yang tertera di pesan itu. Aku pun menjawab pesan itu seperlunya sesuai
dengan pesan yang dikirim oleh si pengirim tak kurang dan tak lebih sampai tak
terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.00 wib dan aku sudah membalas setiap
pesan itu selama kurang lebih 2 jam tanpa tahu siapa si pengirim pesan itu,
tahu nama tak tahu rupa, kelewatan mungkin, tapi dengan banyaknya anggota
organisasi sekolah membuat aku tak hafal semua nama dan rupanya. Terkadang aku
tahu rupanya tanpa tahu namanya dan sebaliknya.
***
“tuh
yang lagi jaga gawang..” Ayu menunjuk ke arah gawang di lapangan futsal. Aku
hanya melongo melihat orang yang baru saja Ayu tunjukan padaku. Aku melongo
bukan karena terpesona atau semacamnya tapi aku hanya sedikit kaget. Aku sering
berkomunikasi dengannya hanya untuk sekedar bertanya atau mengobrol sedikit
seputar urusan organisasi namun payahnya aku tak mengingat namanya. Oh namanya
Dirga. Dia adalah adik kelasku. Dia anak kelas X, anak remaja masjid dan jag
anggota PASKIBRA, dan saat ini aktif di organisasi siswa yang sama denganku.
“kak,
ada balsem ngga?” suara cempreng Ayu berhasil membuyarkan lamunanku. Aku yang
masih kaget karena suara Ayu dan semakin kaget
ketika kulihat Dirga tepat ada di
hadapanku.
“makanya
jangan melamun, tuh ditanya ada balsem ngga?” Ayu cengengesan meledeku.
Menyadari bahwa aku adalah petugas P3K di acara penutupan classmeeting hari ini, aku pun segera membuka kotak obat di
sampingku, mengambil balsem lalu memberikannya pada Dirga.
“pinjem
dulu ya kak, temenku kesleo.” Katanya. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Selama
acara berlangsung Dirga tak jauh-jauh dariku. Gerak geriknya seperti ingin
mengajaku bicara tapi aku bersikap cuek dan sedikit menghidar. Entah kenapa,
aku hanya canggung.
Entah
itu bunyi yang ke berapa, banyak panggilan tak terjawab dari Dirga ketika aku
memeriksa ponselku. Aku berjalan pelan menikmati setiap langkahku menyusuri
koridor sekolah yang memang sudah lenggang sore itu karena murid-murid sudah
pulang ke rumah masing-masing, sesekali aku mengusap keringat yang ada di
permukaan dahiku.
“sendiri
aja kak” kata seseorang yang ternyata Dirga yang kini berjalan di sebelahku.
“kak Ayu mana?” sambungnya.
“tadi
sih masih ngobrol sama Deril” jawabku apa adanya.
“kak,
tadi aku sms loh, ngga dibaca ya?”
“sms
apa?”
“hmmmm”
Dirga mendengus kesal. Aku merogoh saku rokku untuk mengambil ponsel dan
berniat membuka sms dari Dirga.
“Kak,
aku suka sama kakak” katanya tanpa ragu. Aku tersentak kaget mendengarnya.
“oh
iya, makasih loh udah suka sama aku. Jadi terharu.” jawabku campur bercanda.
“kalo
aku kepengen jadi pacar kakak boleh ngga?” aku menghentikan langkahku sejenak
untuk memastikan apa yang aku dengar itu tidak salah walaupun sebenarnya aku
sudah menduga bahwa dia akan mengatakan hal itu padaku.
“kamu
serius?” tanyaku.
“iya.
Aku mau kakak jawab sekarang.” Kali ini aku benar-benar kaget mendengarnya.
Coba bayangkan seseorang yang belum kamu kenal tiba-tiba mengungkapkan
perasaannya dan meminta jawaban saat itu juga.
“aku
ngga bisa jawab sekarang. Aku capek. Kalau lagi capek aku ngga bisa mikir.
Besok saja aku jawab.” aku segera masuk ke dalam angkot meninggalkan Dirga yang
saat itu mungkin tengah kecewa
karena harus menunggu jawabanku. Ya, aku memang agak kaget dengan pengakuannya
itu. Coba bayangkan
bagaimana jika ada seseorang yang tak kamu kenal tiba-tiba memintamu untuk
menjadi pacarnya.
Sepanjang perjalanan pulang. Di dalam angkot yang melaju dengan kecepatan di bawah rata-rata aku terus
memikirkan Dirga. Aku berharap bahwa dia tidak serius dengan ucapannya tadi, aku berharap dia kecewa dan besok suasananya akan seperti
biasanya. Tapi disisi lain aku juga takut kalau Dirga kecewa dan sakit hati karena aku. Ah jadi
pusing ngga jelas. Tapi ternyata apa yang aku risaukan sejak pulang sekolah
kini terjawab sudah. Karena akhirnya kita resmi pacaran malam itu tepatnya tanggal 22
Desember 2010.
“seriusan cha?” Ayu seperti tak percaya dengan apa yang baru saja aku ceritakan padanya. Jangankan Ayu, aku pun
masih tak percaya
dengan keputusan yang telah aku buat. Aku menerima Dirga yang baru kemarin sore
aku kenal untuk menjadi pacarku
dengan alasan yang sama karena tak ingin menyakiti hatinya ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa Dirga adalah teman Ayu yang kemungkinan Ayu tidak akan
membahayakan temannya sendiri.
Sebelum dipisahkan oleh
libur semesteran, aku bertemu dengan Dirga di depan kelasku hanya sekedar
mengobrol ringan saja, dan setelah itu kita menjalani liburan masing-masing
selama satu minggu karena aku yang saat SMA tinggal bersama nenekku harus
pulang ke rumah orangtuaku untuk melepas rindu. So aku dan Dirga hanya
berkomunikasi via SMS. Tapi mengingat waktu itu aku merasa menjadi orang jahat
karena aku mulai menyukai temanku yang bernama Alfy. Aku dan Alfy adalah teman
sekelas di kelas 10. Sejak dulu kita sudah dekat tapi tak sedekat sekarang.
Kita sering kirim SMS setiap hari bahkan terkadang aku lebih mendahulukan untuk
membalas SMS Alfy daripada Dirga. Entah kenapa, mungkin karena aku lebih kenal dan
nyaman dengan Alfy dibandingkan dengan pacarku
sendiri.
Liburan semester telah
usai. Aku dan teman-temanku kembali menjalani aktifitas sekolah seperti
biasanya. Ada rasa sedih dalam benakku karena harus berpisah dengan orangtuaku,
tapi aku juga bahagia karena bisa kembali bertemu dengan teman-temanku, Alfy
dan juga Dirga. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu aku menjalani hidup
sebagai seorang siswa dan juga sebagai kekasih Dirga tapi aku merasa belum
mendapatkan chemistry. Perasaanku
pada Dirga masih sama, biasa saja. Mugkin karena kita memang jarang bertemu di
sekolah karena kesibukan masing-masing. Apalagi Dirga terpilih sebagai kandidat
di Olimpiade Sains yang mana lebih sering nongkrong di perpustakaan bersama
kandidat lainnya, selain itu dia juga harus mempersiapkan perform yang baik
untuk perlombaan PASKIBRA yang akan dilaksanakan bulan depan, ditambah lagi
jarak kelas kita yang memang cukup
jauh, so mana bisa kita sering bertemu. Mungkin bertemu sesekali di Mushola dan
jika sampai bertatap muka kita hanya saling melempar senyum satu sama lain
tidak lebih. Mungkin banyak orang yang menganggap gaya pacaran kita aneh, tapi ya itulah kita.
Tidak, mungkin aku yang aneh karena pernah suatu hari Dirga bertanya padaku
“kamu pernah pacaran sebelumnya?”
“pernah.” Kataku. Saat
itu aku mulai berpikir sepertinya aku akan segera mengakhiri hubunganku dengan
Dirga. Aku merasa Dirga mulai tak nyaman dengan semua ini. mungkin Dirga
berpikir bahwa aku seperti orang yang baru pertama kali pacaran yang kaku dan tak tahu bagaimana
dan seperti apa yang harus dilakukan oleh muda-mudi yang berpacaran. Jujur bahwa Dirga adalah calon mantan pacarku yang ke-4, so aku pernah pacaran 3 kali sebelumnya. Meski sudah 3
kali pacaran
tapi aku masih tak mengerti dan tak tahu
apa yang harus dilakukan ketika berpacaran.
Bahkan untuk sekedar berpegangan tangan, duduk berdua, main ke rumah yang pasti
tidak diberi izin orangtuaku, atau berjalan berdua yang mungkin bagi sebagian
orang itu sepele tapi bagiku risih apalagi sampai berpelukan atau mungkin yang
lebih ekstrim, berciuman
yang sangat tidak mungkin bisa aku lakukan walaupun hanya cium pipi. Jujur saja aku tak pernah awet
dalam hal berpacaran,
paling lama bisa bertahan sampai 4 bulan saja. Begitu pun dengan Dirga yang ternyata
hanya mampu bertahan selama 3 bulan. Untuk alasan kenapa berakhir, entahlah,
sepertinya aku pun lupa. Yang pasti dua minggu sebelum putus aku sempat diramal
oleh Imha, salah satu sahabatku yang sebetulnya bukan peramal.
“kata
orang kalau kita kasih baju ke pacar nanti bakal putus” kira-kira seperti itu
yang dikatakan Imha ketika aku bercerita bahwa aku sudah membeli T-shirt untuk Dirga. Aku membelinya
semata-mata sebagai hadiah atau kenang-kenangan untuk Dirga karena aku merasa
hubunganku dengannya akan segera berakhir dan aku ingin menjadikan T-shirt itu sebagai salah satu tanda
bahwa aku pernah ada di kehidupannya walau singkat karena sepertinya selama
kita pacaran kita tidak memiliki momen yang spesial yang layak untuk dikenang.
Saat
itu aku merasa seperti anak SMA labil pada umumnya. Merasakan patah hati yang
begitu sakit walaupun sebenarnya aku sudah tahu semua ini akan terjadi dimana
aku akan putus dengan Dirga. Entah kenapa dari semua mantan pacarku yang
jumlahnya bisa dihitung jari, Dirga lebih menyakitkan. Mungkin saat itu aku
memang sudah mulai menyayanginya sehingga aku menangis saat Dirga mengirimkan
SMS permintaan untuk mengakhiri hubungan ini. Tapi walaupun sakit aku lebih
senang dia yang memutuskan untuk mengakhiri daripada aku yang harus
memutuskannya. Aku rela disakiti daripada harus menyakiti orang lain, bukan
lebay tapi itulah prinsipku. Aku yang saat itu masih aktif di organisasi siswa
terpaksa harus mengundurkan diri karena tak ingin sering melihat Dirga. Tapi
alasan sebenarnya bukan semata-mata karena Dirga, melainkan aku yang tak bisa
mengikuti beberapa kali rapat untuk persiapan MOPS yang diadakan pada saat
libur semester karena saat itu aku tengah melepas rindu di rumah orangtuaku
yang tak bisa aku tinggalkan.
Sejak
itu aku berpikir bahwa tak ada manfaat yang bisa diambil dari pacaran selain
hanya memberikan kesenangan semata dan berujung pada hati yang luka, itu yang
selalu aku rasakan selama 4 kali pacaran. Itu pendapatku, just my opinion. Mungkin banyak sebagian orang yang tak
mempermasalahkan berpacaran, termasuk beberapa temanku yang bisa sampai
bertahun-tahun pacaran bahkan ada yang sampai menikah. Tapi itu tidak berlaku
bagiku. Aku tidak bisa pacaran seperti mereka yang bisa bebas kesana kemari
denagn si pacar d motor berdua, main ke rumah si pacar, kenalan dengan orangtua
si pacar, jalan berdua sambil bergandengan tangan, berpelukan, apalagi sampai
ciuman, aku tidak bisa melakukan semua itu yang mungkin bagi sebagian orang itu
sepele. Apalagi aku memiliki orangtua yang sangat melarang keras pacaran di
usia sekolah. Pernah suatu hari ketika aku masih duduk di bangku SMP aku
kepergok berangkat dan pulang sekolah bareng dengan pacarku, ibuku langsung
menceramahiku tanpa henti dan memintaku untuk segera mengakhiri hubungannku
dengan si pacar.
“untuk saat ini aku nggak mau
pacaran, aku ingin fokus belajar, kuliah !” ikrarku dalam hati. Mungkin aku
kuno, basi, tapi itulah aku dengan komitmenku. cukup Dirga sebagai pacar
terakhirku. Aku tak ingin mencari Dirga-Dirga lain yang akan mengekangku, yang
setiap malam harus aku beri ucapan selamat tidur, yang setiap saat
menghubungiku hanya untuk menanyakan sedang apa? sedang dimana? Bersama siapa? Sudah makan?
Sudah mandi? Yang mungkin lebih bawel dari orangtuaku. lantas aku berpikir,
siapa dia? Ayahkukah? Ibukukah? Sampai-sampai aku takut merasa buruk di
depannya. Dan kali ini aku hanya berharap suatu hari nanti aku akan menemukan
seseorang yang tulus menyayangiku selain orangtua dan keluargaku tanpa harus
melalui tahap pacaran. Jodoh. Ya, biar Allah SWT yang tentukan.
---------------------------------------------*See you on the next story*--------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar